Langsung ke konten utama

Tafsir Bi Al-Ma’tsur Dan Tafsir Bi Al-Ra’yi



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Memepelajari Al-Quran bagi setiap Muslim merupakan salah satu aktivitas terpenting, bahkan hanya membacanya pun dinilai ibadah. Dalam mempelajari Al-Quran, seseorang harus mempelajari Ulumul Quran, sehingga suatu pengantar itu dapat mengantarkan mempelajari Al-Quran lebih lanjut. Dalam mempejari Al-Quran adakalanya keterkaitan antara Al-Quran dan ilmu tafsir. Sehingga dalam mempelajari Al-Quran, Ilmu Tafsir sangat menentukan keberhasilan seseorang untuk mempelajari Al-Quran.
Al-Qur’an yang memancar aneka ilmu keislaman, dari segala aspek yang kita alami dan hadapi dalam kehidupan ini, tidak hanya mengikat dalam personal dunia melainkan juga persoalan akhirat. Karena itulah kitab suci ini mendorong kita untuk melakukan pengajian pengamatan dan penelitian. Dalam konteks inilah lahirnya berbagai macam disiplin ilmu yang kita kenal saat ini, dan menghasilkan juga aliran aliran dalam menafsirkan Al-Quran.
Siapa yang mengamati aneka disiplin ilmu keislaman, baik kebahasan, keagamaan, maupun filsafat, kendati berbeda-beda dalam analisis, istilah dan pemaparannya, namun kesemuanya menjadikan teks-teks Al-Qur’an sebagai focus pandangan dan titik tolak studinya. Karena Al-Quran merupakan Kalam Allah, maka dalam memahami Al-Quran yang banyak sekali kosakata baik dalam ayat maupun surat dengan berbagai cara dan menghasilkan produk tafsir yang berbeda-beda.
Adapun beberapa aliran Tafsir sehingga menghsilkan produk yang berbeda-beda, seperti Tafsir bi al-Riwayah/Ma’tsur dan Tafsir bi al-Dirayah/Ra’yi. Aliran tafsir ini tumbuh dan berkembang seiring dengan kebutuhan umat dan tuntunan zaman disamping senafas dengan perkembangan cabang/bidang ilmu pengetahuan. Mula-mula Tafsir bi al-Riwayah, kemudian diikuti dengan Tafsir bi al-Dirayah. Kelahiran Tafsir bi al-Dirayah ini selain kebutuhan  mendesak pada zamannya, juga sebagai kritik membangun terhadap aliran Tafsir bi al-Riwayah,yang dianggap terlalu sedikit dan rigid.
Dalam pembahasan kali ini penulis mencoba membahas aliran tafsir dan berbagai bentuk tafsir al-Qur’an yang hingga saat ini sudah banyak ditulis oleh pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Tafsir bi al-Ma’tsur?
2.      Apa saja bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur?
3.      Apa pengertian dari Tafsir bi al-Ra’yi?
4.      Apa saja bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ra’yi?
5.      Bagaimana perbedaan pendapat tentang Tafsir bi al-Ma’tsur?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Tafsir bi al-Ma’tsur
2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ra’yi
3.      Untuk mengetahui pengertian dari Tafsir bi al-Ma’tsur
4.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ra’yi
5.      Untuk mengetahui perbedaan pendapat tentang Tafsir bi al-Ma’tsur


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur/bi al-Riwayah/ bi al-Manqul
Kata al-Ma’tsur berasal dari kata atsara-ya’tsiru/ ya’tsuru-atsran- wa-atsaratan yang secara etimologi yang berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama). Al-Atsar juga berarti sunnah, hadis, jejak, bekas, pengaruh, dan kesan. Jadi kata al-ma’tsur, al-naql/al-manqul/, dan al-riwayah pada hakiakatnya mengacu pada makna yng sama yaitu mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ssudah ada dari orang lain atau masa lalu sehingga tinggal mewarisi dan meneruskan apa adanya.[1]
Sejalan dengan pengertian harfiah kata al-ma’tsur dan lain-lain diatas, ialah penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, menafsirkan ayat Al-Quran dengan al-Sunnah al-nabaiyyah dan/ atau menafsirkan ayat Al-Quran dengan kalam (pendapat) sahabat, bahkan tabi’in menurut sebgian ulama. Menurut Ali al-Shabuni, memformulasikan tafsir bi al-riwayah ialah tafsir yang terdapat dalam Al-Quran atau al-Sunnah atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah SWT. Tentang penafsiran Al-Quran berdasar al-Sunnah al-Nabawiyah.[2]
B. Bentuk-Bentuk Tafsir bi Al-Riwayah
Dari definisi diatas bisa dikemukakan bahwa tafsir bi al-riwayah dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:
1.      Tafsir Al-Quran dengan AlQuran
Dalam hal ini ada beberapa bentuk dalam menafsirkan ayat dengan ayat, yaitu menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang sama, dan menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang berbeda. Contoh penafsiran ayat dengan ayat dalam surat yang sama secara bergandengan ialah:
اِهْدِ نَاَ الصِّرَالْمُسْتَقِيْمَ(6)
صِرَطَ الَّذِ يْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّا لِّيْنَ (7)
Artinya: Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (6) Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7). (QS. Al Fatihah: 6-7).
Dalam Surat Al-Fatihah ayat 6 yang maknanya kurang jelas, sehingga ayat selanjutnya (ayat 7) menafsirkan ayat 6 itu.

Sedangkan contoh penafsiran ayat dengan ayat dalam surat yang berbeda, seperti:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ( ٢٣)
Artinya: Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.(QS. Al A’raf:23)
Yang berfungsi sebagai mufassir bagi kata كَلِمَٰتٍdalam ayat:
فَتَلَقَّىٰٓ ءَادَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٍ فَتَابَ عَلَيۡهِۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ (37)
Artinya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah:37)
2.      Tafsir Al-Quran dengan al-Sunnah al-Nabawiyyah
Yang dimaksud dengan tafsir al-Sunnah Nabawiyyah ialah menafsirkan Al-Quran dengan hadis Nabi Muhammad Saw.[3] Diantara contohnya ialah Nabi saw. Menafsirkan kata ٱلۡمَغۡضُوبِ dan ٱلضَّآلِّينَ masing-masing dengan orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dalam firman Allah :
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ (٦) صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ( ٧)                 
Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus (6)  (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7)  (QS. Al-Fatihah 6-7)
Contoh lain, Rasulullah Saw. Menafsirkan kata al quwwah dengan panah (al-ramyu) dalam firman Allah:
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمۡ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمۡ لَا تَعۡلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعۡلَمُهُمۡۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ( ٦٠ )
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)(QS. Al-Anfal:60)
3.      Tafsir Al-Quran dengan Pendapat Sahabat
Tafsir Al-Quran dengan pendapat sahabat , oleh sebagian ulama’ digolongkan ke dalam kelompok tafsir bi al-riwayah. Al Hakim misalnya dalam bukunya al-Mustadrak, mengatakan bahwa tafsir sahabat yang menyasikan proses turunnya wahyu Al-Quran layak di posisikan sebagai hadis marfu’ maksudnya disetarakan dengan haadis nabi. Namun demikian,  ada pula ulama yang membatasi bahwa tafsir sahabat itu bias digolongkan ke dalam kelompok tafsir bi al-riwayah manakala yang diambil dari mereka adalah hal-hal yang berkenaan dengan ilmu-ilmu sima’I semisal asbabun nuzul dan kisah yang tidak ada kaitnnya dengan ijtihad. Jadi pada hakikatnya pendapat sahabat masuk ke dalam kategori Tafsir al-riwayah.[4]
Berbeda dengan pendapat sahabat yang ditempatkan ke dalam tafsir bi al-riwayah, pengelompokan tafsir dengan pendapat tabi’in ke dalam tafsir bi al-riwayah banyak digugat para ahli tafsir. Salah satunya penolakan dari al-Zarqani untuk tidak memasukkan pendapat tabi’in ke tafsir al-ma;tsur adalah didorong keinginannya untuk menyelamatkan tafsir al-ma’tsur dari pemikiran-pemikiran israilliyyat[5] yang dapat menyesatkan umat karena isinya lebih banyak dongeng, kufarat, khayal, dan sebagainya dari pada kebenaran.[6]
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Riwayah
Tafsir bi- alriwayah, terutama yang dalam bentu tafsir Al-Quran bi Al-Quran dan tafsir Al-Quran dengan al-Sunnah Nabawiyah oleh kebanyakan bahkan seluruh mufassir dinyatakan sebagai tafsir yang paling tinggi kedudukannya. Bahkan Ibn Taimiyah dan Ibnu Katsir menyatakan “Sekiranya ada orang yang bertanya tentang cara penafsiran Al-Quran yang terbaik, maka jawaban yang paling tepat ialah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran. Alasannya, karena jika pada sebagian ayat Al-Quran ada yang global, maka pada bagian lain sering kali dijumpai uraian yang relatif rinci. Manakala seseorang tidak menjumpai (keterangannya) dalam Al-Quran, maka hendaklah ia berpegang dengan al-Sunnah yang berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas bagi Al-Quran.[7] Dan apabila tidak mendapatkan Penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, dan Sunnah, maka hendaknya merujuk pada pendapat sahabat, karena sahabat merupakan orang yang tahu tentang wahyu sedikit lebih banyak dan sedikit terlibat dengan proses penurunan wahyu.
Namun penafsiran ini juga mempunyai kelemahan didalamnya terutama
1.      Mencampuradukkan antara riwayat yang shahih dengan yang tidak sahih
2.      Dalam buku-buku tafsir bi al-Riwayah  sering dijumpai kisah-kisah israilliyat yang penuh dengan khufarat, tahayul, dan bid’ah yang sering kali menodai akidah Islamiyyah
3.      Sebagian pengikut madzhab tertentu seringkali mengkalim (mencatat) pendapat mufassir tertentu, misalnya mempertimbangkan penafsiran tanpa ada pembuktian kebenaran
4.      Sebagian orang kafir yang notabene memusuhi Islam acapkali menyisihkan (kepercayaan) melalui sahabat dan tabi’in. Yang demikian itu sengaja amereka lakukan untuk menghancurkan Islam
D. Pengertian Tafsir bi al-Dirayah/bi al-Ma’qul/ bi al-Ra’yi/ bi al-Ijtihad
Kata dirayah berakar pada kata dara-yadri-daryan-wadiryatan yang artinya mengerti, mengetahui, dan memahami. Kata dirayah  merupakan sinonim dari ra’yun  yang berarti melihat, mengerti, menyangka, mengira atau menduga. Kata al ra’yi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) dan mufassir juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain. Adapu al-ra’yu secara semantik berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yi juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian semantik tersebut, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi adalah menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal. Corak ini dinamakan juga dengan al-Tafsir bi al-Ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir. Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi, dibandingkan al- Tafsir bi al-ma’tsur.
Sedangkan yang dinaksud dengan tafsir bi al-ra’yi ialah penafsiran  Al-Quran yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa Arab dan segi-segi arfumentasinya yang dibantu dengan menggunakan syair-syair jahili serta mempertimbangkan asbabun nuzul dan lain lain sarana yang dibutuhkan mufassir.[8]
Diantara sahabat yang termasuk kelompok mufassir bi ra’yi adalah : Abu Bakar Shiddiq, Umar ibn Al khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Mas’ud. Secara formal corak ini telah melembaga sebagai madrasah al tafsir bi ar ra’y masa itu yang ditangani langsung oleh Abdullah ibn Abbas.[9] Di antara penyebab kemunculan corak tafsir bi al-ra’y adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar-pakar di bidangnnya masing-masing. Pada akhirnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Itulah salah satu faktor yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis, dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam, seperti fikh, falsafi, sufi.
E. Bentuk-Bentuk Tafsir bi Al-Ra’yi
Mengingat tafsir dirayah ini lebih menekankan sumber penafsirannya pada kekuatan bahasa dan akal mufassir maka para ahli ilmu tafsir membagi Tafsir bi al-Ra’y menjadi 2 macam yaitu tafsir bi-ra’yi yang terpuji (mahmudah) dan tafsir bi-ra’yi yang tercela (al-madzmum).


1.      Ar-Ra’yu al-Mahmudah[10]
Ar-Ra’yu al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
a.       Sesuai dengan tujuan al-Syar’i (Allah Swt.)
b.      Jauh atau terhindar dari kesalahan dan kesesatan
c.       Dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa Arab) yang tepat dengan mempraktikkan gaya bahasa (usulubnya) dan memahami nash-nash Al-Quran
d.      Tidak mengabaikan (memperhatikan) kaidah-kaidah penafsiran yang sangat penting seperti memperhatikan asbabun nuxul, munasabah dan lain lain sarana yang dibutuhkan mufassir
Contoh Tafsir Ar-Ra’yu Mahmudah:
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ ( ٧)  وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ  (٨)
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (7) Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (8) (QS.Az-Zalzalah:7-8]
Contoh tafsir mahmud ialah penafsiran kata Dzarrah dalam surat al-Zalzalah:7-8, dengan benda terkecil, misalnya atom, newton dan energi yang ulama’-ulama’ klasik ditafsirkan dengan biji sawi, biji gandum, dll. [11]
2.      Tafsir Madzmum ( Tafsir yang tercela)
Ciri-ciri penafsiran ini adalah sebagai berikut:
a.       Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai (bodoh)
b.      Tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan
c.       Menafsirkan Al-Quran dengan semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa nafsu
d.      Mengabaikan aturan aturan bahasa Arab dan aturan syariah yang menyebabkan penafsirannya menjadi rusak, sesat dan menyesatkan



Contoh penafsiran Tafsir Madzmum ( Tafsir yang tercela):
Ada oknum juru kampanye (jurkam) yang menerjemahkan kata syajarah dengan pohon beringin, dengan maksud mendiskriditkan Partai Golongan Karya supaya tidak dipilih.
 وَقُلۡنَا يَٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ (٣٥)
Artinya: Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim (QS. Al-Baqarah:35)
Kata syajarah pada surat al-Baqarah ayat 35 diatas sama sekali tidak ada hubungannya dengan pohon beringin karena yang dimaksudkan dengan pohon disini adalah pohan yang oleh para ulam’ tafsir disebut-sebut dengan pohon khuldi yang Adam a.s dilarang mendekatinya dialam surga sebelum Adam dan Istrinya diusir ke muka bumi. Sedangkan pohon beringin pada Partai Golkar dipahami dengan pengayoman dan keteduhan.[12]
F. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Ra’y
Pendapat ulama tentang boleh tidaknya menafsiri Al-Qur’an bi al-ra’y beserta dengan alasannya. Sebagian ulama  mengatakan “ yang dimaksud dengan ra’yu disini adalah ijtihad”. Karena itu, tafsir ra’yu berarti tafsir Al-Qur’an berdasarkan ijtihad setelah mufassir mengetahui kata-kata dan uslub orang arab dalam berbicara, serta mengetahui lafal-lafal bahasa  arab dan pengertiannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu yang terbagi dalam dua pendapat :
1.      Tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu karena tafsir ini harus bertitik tolak dari penyimakan. Itulah pendapat sebagian ulama.
Alasan pendapat yang tidak memperbolehkan
Menafsirkan Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Ulama yang tidak membolehkan penafsiran dengan ra’yu menyebutkan beberapa alasan yang dapat diringkaskan sebagai berikut :
a.       Tafsir dengan ra’yu adalah membuat-buat (penafsiran) Al-Qur’an dengan tidak berdasarkan ilmu. Karena itu tidak dibenarkan berdasarkan firman Allah:
اِنَّمَا يَأْ مُرُ كُم بِآ لسُّو ءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُو لُو ا عَلَى الله مَا لَا تَعْلَمُو نَ
Artinya : Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. Al-Baqarah : 169)
b.      Sebuah hadits  tentang acaman terhadap orang yang menafsirkan dengan ra’yu, yaitu sabda Rasul SAW :
من كذ ب علي متعمدا فليتبوأ مقعمده من النار , ومن قال في القرأن برأ يه فليتبوأ مقعده من النار.
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia menepatkan dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan Ibnu Abbas ).
c.       Firman Allah SWT :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّ كْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّا سِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَهُمْ يَتَفَكَّرُ ونَ
Artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereke memikirkan.
d.      Para sahabat dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya, sehingga abu Bakar Shiddiq mengatakan, “ langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan melindungiku? Bila aku menafsirkan Al-Qur’an menurut ra’yuku atau aku katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul.”


2.      Alasan-alasan Pendapat yang Membolehkan Tafsir dengan Ra’yu
Ulama’ yang membolehkan tafsir dengan ra’yu adalah golongan jumhur yang menyebutkan beberapa alasan yang dapat kami simpulkan sebagai berikut:
a.       Allah telah manganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti  Al-Qur’an, seperti  dalam firman-Nya:
كِتَبٌ أَنزَلْنَهُ إِلَيْكَ مُبَرَ كُ لِّيَدَّ بَّرُواْ ءَا يَتِهِ, وَلِيَتَذَ كَّرَ أُوْلُواْ الْاَلْبَبِ
Artinya: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami rahasia-rahasia Al-Qur’an dan berusaha untuk memahami artinya.
b.      Allah SWT.  membagi manusia dalam dua klasifikasi; kelompok awam dan kelompok ulama (cerdik cendikiawan). Allah memrintahkan mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hukum, firman Allah:
وَإِذَا جَا ءَهُمْ أَمْرُ مِّنَ الْآَمِّنَ أَوِالْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ, وَلَوْ رَدُّ وهُ إِلَى الرَّسُو لِ وَإِلَئ الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُو نَهُ مِنْهُمْ , وَلَوْلَا فَظْىلُ الله عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ, لَا تَّبَعْتُمُ الشَّيْطَىنَ إِلَّا قَ لىلًا.
Artinya : “Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c.       Mereka berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan pahala, baik benar maupun salah dalam ijtihadnya.[13]
BAB III
ANALISIS PENULIS

Analisis Penulis
Menurut penulis, bahwa pengertian dari Tafsir bi al-Riwayah ialah penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan al-Sunnah dan apabila tidak terdapat diantara keduanya dapat menggunakan pendapat sahabat. Penafsiran ini pada dasarnya adalah penafsiran yang paling tinggi kedudukannya dan dianggap mendekati kebenaran, dan lazim diposisikan sebagai penafsiran yang paling utama. Dalam Tafsir bi al-Riwayah terdapat kelemahan yaitu penafsiran bisa tercampur atau termasuki oleh riwayat yang tidak benar atau Israiliyyat.
Dalam Tafsir bi al-Riwayah dibagi menjadi tiga yaitu penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, AlQuran dengan al-Sunnah dan penafsiran Al-Quran dan dengan pendapat sahabat. Penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran biasanya ayat yang tidak jelas dijelaskan dalam ayat yang dalam satu surat atau sebaliknya. Dan jika tidak menjumpainya dalam Al-Quran biasanya al-Sunnah, bahkan sebagian ulama’, seluruh hadis sebagai penjelas Al-Quran. dan terakhir sahabat dengan penyaksian proses turunnya wahyu yang digunakan untuk membantu penafsiran Al-Quran.
Sedangkan Tafsir bi al-Ra’yi penafsiran yang dilakukan mufassir dengan menggunakan akal (pemikiran). Pada tafsir ini mufassir lebih menekankan penekanan akal, karena dinilai dapat megikuti perkembangan IT. Namun dalam tafsir ini terdapat tafsir yang benar dan tafsir yang salah. Tafsir bi Ar-Ra’yi yang dianggap benar apabila sesuai dan sejalan dengan tujuan syari, dan memperhatikan kaidah kaidah bahasa Arab. Sedangkan Tafsir bi al-Ra;yi yang madzmum (tidak untuk diikuti), apabila seorang mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai, mengandalkan hawa nafsu, dan mengabaikan kaidah bahasa Arab.




BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tafsir bi al-Riwayah ialah penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, menafsirkan ayat Al-Quran dengan al-Sunnah al-nabaiyyah dan/ atau menafsirkan ayat Al-Quran dengan kalam (pendapat) sahabat, bahkan tabi’in menurut sebgian ulama. Dalam Tafsiran ini terbagi menjadi tiga yaitu nenafsirkan ayat Al-Quran dengan Al-Quran, dan apabila tidak menjumpai dalam Al-Quran maka dapat dengan al-Sunnah dan pendapat Sahabat. Penafsiran ini menurut berbagai Ulama’ adalah kedudukan yang paling tinggi, dan karena itu penafsiran ini dapat dijadikan pedoman. Namun disamping itu yang ditakutkan dari tafsir ini ialah, apabila tercampurnya riwayat yang shahih dan  tidak shahih yang digunakan oleh orang kafir untuk menyesatkan umat Islam.
Sedangkan Tafsir bi al-Ra’yi ialah tafsir yang dilakuka mufassir dengan menggunakn akal pikiran (pemikiran). Dalam tafsir ini terdapat dua kategori yaitu tafsir yang terpuji (mahmud) dan tafsir yang tercela (madzmum). Tafsir yang terpuji itu apabila memiliki ciri-ciri yang tidak bertentangan dengan tujuan Syari, Dibangun atas dasar-dasar kaidah bahasa Arab, dan memperhatikan asb nuzul, munasabah, dll atau sarana yang dibutuhkan oleh mufassir. Sedangkan Tafsir bi ak-Ra’y yang tercela (madzmum), apabila mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai, dan tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan, dan lebih mementingkan hawa nafsu.
Pendapat ulama’ mengenai Tafsir bi al-Ma’tsur yaitu penafsiran yang paling tinggi kedudukannya karena  jika pada sebagain ayat Al-Quran ada yang global, maka pada bagian lain yang seringkali dijumpai uraian yang rinci, dan apabila tidak menjumpainya dalam al-Quran dapat menggunakan al-Sunnah dan apabila daalm Al-Quran dan Al-Sunnah tidak digunakan maka dapat digunakan pendapat sahabat dan tabi’iin menurut sebagian ulama. Sedangkan dalam pendapat ulama mengenai Tafsir bi al-Ra’y ada yang memperbolehkan dan tidak memperbolehkan . Jika yang memboleh kan dengan alasan, karena apabila penafsiran  penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri niscaya tidak diperbolehkan. dan yang melarangnya adalah dengan mengada-ada atau membuat buat bukan berdasarkan ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Ash-Shabuniy, Muhammad. At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. (Cet. I; Alim al-Kutub: Makkah al-Mukarramah, 1985). Di Akses dari http://www.salafyoon.net/ Diakses pada 23 September2017 Pukul 09.34 WIB.
Al Qathan, Manna’. Pengantar Studi Imu Al-quran. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008
Amin Suma, Muhammad. 2014. Ulumul Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Baidan, Nashruddin. 1999. Rekontruksi Ilmu Tafsir. Surakarta: STAIN Press.
Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Quran.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasbi ash-Shiddieqy,Teungku. 2011. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Shihab, M. Quraish. 2000. Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Yuslem, Nawir. 2011. Ulumul Qur’an . Bandung : Citapustaka Media Perintis.




[1] Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 332.
[2] Ali Al-Shabuni, dalam Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 332.
[3] Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 342.

[4] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.41.
[5] Israiliyyat: ”Segala sesuatu yang bersumber dari kebudayaan Yahudi dan Nasrani, baik yang termaktub di   dalam Taurat, Injil, dan penafsiran-penafsirannya, maupun pendapat orang-orang Yahudi dan Nasrani mengenai ajaran agama mereka.
[6] Nashruddin Baidan, Rekontruksi Ilmu Tafsir (Surakarta: STAIN Press, 1999), hlm.40.
[7] Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 346.
[8] Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 351.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2011) Hal 110.
[10] Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 351.
[11] Ibid., hlm.352.
[12] Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 355.
[13] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an (dalam Ulumul Quran:Jakarta,2014), hlm..359.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah-Kaidah Fiqih Umum (Kaidah 10,11 Dan 12)

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Masalah Masalah dalam masyarakat kini telah semakin banyak perkembangan , sehingga masalah-masalah pun semakin sulit dipecahkan dan didapatkan penyelesain. Al-Quran dan Hadist sebagai sumber utama ajaran Islam tidak semua memberikan penjelasan yang jelas, tetapi justru masih banyak yang bersifat global jika ditinjau dari masalah-masalah modern masa kini. Hal tersebut mengakibatkan kebanyakan masyarakat memutuskan secara tidak tepat atau tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kaidah fiqh banyak sekali yang sudah dirumuskan ulama’ yang digali dari beberapa sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Hadis. Sehingga kaidah itu bisa dijadikan pijakan untuk bermasyarakat atau bermuamalah. Karena pada dasarnya kaidah ini digunakan untuk pedoman sehingga lebih mudah dipahami, tetapi dalam berpedoman dengan kaidah-kaidah fiqh ada pengecualiannya, untuk itu diperlukan ketelitian dalam mengkaji mengenai kaidah-kaidah fiqh ini. Dalam makalah ini penuli

Hubungan Peradilan Agama Dengan Proses Penetapan Hukum Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya satu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.   Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan yang lainnya sebagai peradilan negara. Dalam menyelesaikan masalah-masalah perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. B.      Rumusa Masalah 1.       Apakah peranan Peradilan Agama dalam penegakkan hukum di Indonesia? 2.       Bagaimana perundangan-undangan dalam Peradilan Agama?

Tafsir Ayat-Ayat Ukhuwwah (Persaudaraan)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Al-Quran merupakan himpunan wahyu Allah, Dzat Maha Pencipta Alam Semesta, yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Di dalamnya terkandung pesan-pesan ilahi kepada manusia, oleh karena ia berkedudukan   amat penting bagi kita semua. Agar dapat menyerap inti sari pesan yang dikandungnya, maka setiap orang haruslah   memahami Al-Quran secara mendalam yang disertai dengan   perenungan makna isi kandungannya.