BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Masalah
dalam masyarakat kini telah semakin banyak perkembangan , sehingga
masalah-masalah pun semakin sulit dipecahkan dan didapatkan penyelesain.
Al-Quran dan Hadist sebagai sumber utama ajaran Islam tidak semua memberikan
penjelasan yang jelas, tetapi justru masih banyak yang bersifat global jika
ditinjau dari masalah-masalah modern masa kini. Hal tersebut mengakibatkan
kebanyakan masyarakat memutuskan secara tidak tepat atau tidak sesuai dengan
ajaran Islam.
Kaidah fiqh
banyak sekali yang sudah dirumuskan ulama’ yang digali dari beberapa sumber
ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Hadis. Sehingga kaidah itu bisa dijadikan
pijakan untuk bermasyarakat atau bermuamalah. Karena pada dasarnya kaidah ini
digunakan untuk pedoman sehingga lebih mudah dipahami, tetapi dalam berpedoman
dengan kaidah-kaidah fiqh ada pengecualiannya, untuk itu diperlukan ketelitian
dalam mengkaji mengenai kaidah-kaidah fiqh ini.
Dalam
makalah ini penulis mencoba memaparkan beberapa kaidah fiqh yang umum. Kaidah
yang berbunyi mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih utama daripada
menyinyiakannya, hak menetapkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung
kerugian serta keluar dari khilaf itu diutamakan. Beberapa kaidah ini
mengajarkan kepada kita untuk mengamalkan sesuatu kalimat, untuk mendapatkan
hasil dari keharusan menanggung kerugian dan untuk keluar dari khilaf agar
dapat memilah hokum yang lebih jelas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaidah
Kesepuluh
إِعْمَالُ الكَلاَمِ اَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ
“Mengamalkan maksud suatu kalimat lebih utama dari
menyia-nyiakannya"
Perkara itu
ada kalanya jelas maksutnya, dan ada kalanya yang kurang jelas maksutnya.
Terhadap yang telah jelas maksudnya. Maka haruslah diamalkan sesuai dengan
maksud itu, dan terhadap yang belum dijelaskannya, maka mengamalkan lebih baik
dari pada meniadakannya atau menyianyiakannya.
Contoh kaedah :
1. Orang
berwasiat memberikan hartaya kepada anak-anaknya , padahal ia sudah tidak
mempunyai anak lagi kecuali cucu-cucunya, maka harta harus diberikan kepada
cucunya.
2. Seseorang mempunyai dua bejana yang satu untuk
khamr yang satu untuk cuka. Kemudian orang tersebut mewariskan salah satu dari
bejana tersebut. Wasiatnya adalah bejana cuka.
3. Seseorang
bersumpah tidak akan memakan apapun dari kendil itu. Maka termasuk di dalamnya
segala apapun yang dimasak dengan menggunakan kendil tersebut
4. Seseorang
berkata kepada istri dan himarnya:”salah satu dari kalian aku talak”, maka
berarti istrinya yang dicerai
Cabang-cabang dari kaidah ini adalah
sebagai berikut:
الاصل في الكلام الحقيقة
“Ketentuan dasar sebuah ucapan adalah
(diarahkan pada) makna hakikinya”
Makna
kaidah : penggunaan kalimat mutakallim-baik syar’i, aqid,halif, atau
lainnya-itu jika lafadz ucapan tadi mengandung makna hakiki dan sunyi dari
korinah-qorinah yang lebih menggunakan makna majaz. Contohnya adalah jika
seseorang mewakafkan kepada anak-anaknya, maka tercakup di dalamnya anak
laki-laki dan perempuan. Karena hakikatnya ka anak (al walad) itu juga mencakup
anak laki-laki dan perempuan.
اذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجز
“Jika dirasa sulit untuk mengarahkan
ucapan pada makna hakikatnya, maka diarahkan kepada makna konotasinya”
Syarat
pemalingan makna hakiki kepada makna
majazi: Lafadz yang digunakan untuk makna majazi disyaratkan adanya qorinah
yang mencegah datangnya makna hakiki seperti mustahil dan sukarnya bermakna
hakiki, atau makna hakiki termahjur (terhalang) baik dari sudut pandang syara
ataupun urf.
Contohnya
Seseorang berwakaf kepada anaknya-padahal ia hanya mempunyai cucu, maka wakaf
diberikan kepada cucunya tersebut. Cucu adalah makna majaz dari anak.
اذا تعذر اعمال الكلام يهمل
“Jika sulit memberlakukan suatu ucapan,
maka ucapan tersebut tidak dapat diberlakukan”
Contohnya:
Seseorang menuduh orang lain memotong tangannya, padahal tangannya masih utuh
ذكر بعض ما لايتجزأ كذرك كله
“Menyebutkan sebagian sesuatu yang tidak
bias diperinci itu seperti menyebutkan keseluruhannya”
Contoh:
Seseorang mencerai setengah atau seperempat (badan pen) istrinya, maka berarti
ia mencerai seluruh (badan pen).
المطلق يجرى على أطلاقه مالم يقم دليل التقييد نصا او
دلالة
“Sesuatu yang mutlak berlaku sejalan dengan
kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya baik nash maupun
dalalah”
Contoh:
Seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membeli kuda atau mobil, lalu
orang tersebut membelikannya warna merah atau putih. Kemudian orang yang
mewakilkan tersebut berkata kepadanya bahwa ia mau yang berwarna hitam, maka
sudah lazim apa yang dibeli oleh wakil tersebut, karena kalam yang mutlak
berlaku sesuai dengan kemutlakannya.
الوصف فى الحاضر لغو وفي الغا ء ب معتبر
“Menshifati yang hadir (ada ditempat) itu
sia-sia, dan menshifati sesuatu yang gaib (tidak ada ditempat) itu dianggap
perkiraan)”
Ruang lingkup kaidah : kaidah ini berlaku
pada sebagian akad mubadalah seperti ba’i, ijarah, dan nikah, yang syarat
sahnya adalah ma’rifatu albadalain, intifaa’u al juhaalah. Contohnya adalah:
Seseorang berkata “ aku menjual kuda putih ini kepadamu”-sambil
menunjuknya-padahal berwarna hitam-maka jual tersebut jadi sah jika pembeli
menerimanya, dan sia sialah penyifatan tersebut. Sedangkan jika kuda tersebut
taka ada (ditempat akad) dan sipenjual berkata bahwa ia menjual kuda putihnya,
kemudian tampak jelas bahwa kudanya berwarna hitam, maka pembeli boleh khiyar.
السؤال معاد في الجواب
“Pertanyaan itu (diulang) dalam jawaban”
Contoh
seseorang berkata pada orang lain: aku menjual rumahku atau tokoku. Lalu orang
tersebut menjawab ya, tau aku terima, maka berarti ia ridlo dengan jual beli
tersebut.
التأسيس اولى من التأكيد
“Ta’sis lebih diprioritaskan daripada
ta’kid”
Contoh:
Seorang suami berkata pada isterinya “ kamu aku talak kamu aku talak tanpa ada
naiatan apapun, maka menurut qaul yang shahih adalah jatunya talak”.
B. Kaidah Kesebelas
الْخَرَاجُ باِالضَّماَنِ
“Hak menetapkan hasil disebabkan oleh
keharusan menanggung kerugian”
Kaidah ini
sebenarnya adalah hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu
Dawud, At-Tirmidxi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Aisyah ra. Yang berbunyi:
اِنَّ رَجُلاً اِبْتَاعَ عَبْدًا فَاَقَامَ عِنْدَهُ مَا
شَاءَاللّهُ اَنْ يُقِيْمَ ثُمَّ وَجَدَ
بِهِ عَيْبًا فَخَا صَمَهُ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَليْهِ وَسَلَّمَّ
فَرَدَّهُ عَلَيْهِ فَقَالَ الرَّجُلُ: يارسول لله فَقَدَ اسْتَعْمَلُ غَلاَمِى
فقال: الْخَرَاجُ بِالضَّماَنِ
“ Bahwa seorang laki-laki menjual seorang
budak, maka budak itu bermukim di tempat pembeli dalam beberapa hari kemudian si pembeli
mendapatkan cacat pada budak tersebut dan melaporkan kepada Nabi Muhammad SAW,
maka nabi mengembalikan budak itu kepada laki-laki menjual. Maka berkatakanlah
laki-laki itu “Wahai Rasulullah, ia (pembeli) telah mempekerjakan (mengambil
manfaat) terhadap budakku”. Rasulullah bersabda :”Hak mendapatkan hasil itu
disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.
Menurut Abu
Ubaid, yang dimaksud dengan الْخَرَاجُ pada hadist di atas adalah pekerjaan hamba
yang telah dibeli seseorang yang kemudian menyuruh agar hamba itu bekerja untuk
waktu tertentu. Setelah diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh penjual,
kemudian ia kembalikan pada penjual tersebut, dengan diambil seluruh uang
sesuai harganya dan ia telah mendapatkan keuntungan dengan mempekerjakan hamba
itu karena ia telah memberikan pembelanjaannya, dan bila ada kerugian maka ia
yang rugi.
Jadi
Al-Kharaj adalah segala apa yang keluar dari sesuatu baik berupa pekerjaan,
manfaat maupun bneda-benda seperti buah
dari pohon, susu dari kambing dan sebagainya, dan kesemuanya adalah menjadi milik dari yang menanggungnya, sebab
kalua ada kerugian maka ia pula yang menanggungnya
Contoh lain:
Seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual
tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi, sebab , penggunaan
binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
C. Kaidah
Keduabelas
اْلخُرُوجُ
مِنْ الْخِلاَ فِ مُسْتَحَبٌّ
“Keluar dari khilaf itu diutamakan”
Sedangkan dasar kaidah ini juga diambil dari Hadis Nabi Muhammad
SAW yang berbunyi:
فَمَنِ
اتَّقَى الشُّبْهَا تِ فَقَدِا سْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وعرضه
“Maka barang siapa menjaga diri dari subhat (tidak jelas hukumnya)
maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
Menurut Tajuddin As-Subky, kaidah ini berasal dari firman Allah yaitu Al-Quran surat Al-Hujarat:12 yang
berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ
وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن
يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ
تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.(QS:
Al-Hujarat:12)
Selanjutnya
beliau berkata, bahwa ayat ini mengandung perintah untuk meninggalkan sesuatu
pekerjaan yang tidak berdosa, karena dikhawatirkan jatuh kepada pekerjaan yang
berdosa. Tindakan berhati-hati ini memang kadang-kadang menganggap ada terhadap
barang yang tidak ada, dan sesuatu yang diragukan menjadi seperti
sungguh-sungguh.
Contoh
konkrit dari kaidah ini adalah disunnahkan membasuh seluruh rambut kepala pada
saat wudhu, agar terbebas dari perbedaan pendapat antara Maliki dan Hanafi yang
mewajibkan tidak hanya sebagian rambut kepala tetapi separo.
Dalam
menggunakan kaidah diatas ulama memberikan beberapa ketentuan, sejauh manakah
perbedaan itu bisa dikompromikan agar dalam implementasinya tidak menyebabkan
kebimbangan dan kerancuan. Sedangkan syarat-syaratnya adalah:
1. Pendapat
yang lain tidak bias dipertahankan keabsahannya. Contoh: melakukan shalat witir
tiga rakaat, apakah dengan satu kali salam atau du kali. Dalam permasalhannya
ini pendapat yang mengatakan satu kali dalam salam tidak bias dipertahankan,
karena sudah jelas bahwa pendapat Abu Hanifah tentang satu kali salam bertentangan dengan hadist
nabi.
2. Perbedaan
pendapat tidak berbenturan dengan Hadist yang shahih atau yang hasan.
Contoh:seperti dalam masalah imam Hanadi yang melarang mengangkat tangan saat
shalat , karena bias membatalkan shalat. Pendapat ini bertentangan dengan hadis
mutawatir dan shahih yang berbunyi:
“Aku
Melihat Nabi SAW ketika memulai shalat mengangkat kedua tangan sama dengan
oundaknya, serta sebelum ruku’ dan saat berdiri dari ruku’ (juga) dan beliau
tidak mengangkatnya ketika diantara dua sujud”.
Dalam
memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada beberapa syarat, yaitu:
1. Jangan
sampai membawa khilaf yang lain. Karena itu memutus shalat witir itu lebih
utama dari pada menyambung nya.
2. Jangan
sampai menselisihi sunnah yang tsabitah. Sehingga karenanya dihukumi sunnah
mengangkat tangan dalam shalat, dan tidak perlu memperhatikan pendapat yang
membatalkan shalat dari sebagian ulama Hanafi, karena hadist tentang mengangkat
tangan ini adalah jelas dari nabi SAW diriwayatkan dari 50 orang sahabat.
3. Hendaknya
kuat dasarnya, tidak hanya yang dianggap sebagai suatu kesilapan, sehingga
karena itu puasa itu dalam bepergian lebih utama bagi yang kuat, dan tidak
perlu diperhatikan pendapat Adh-Dhohiry yang menganggap bahwa puasanya tidak
sah. Dalam hal ini Tahuddin As-Subky mengatakan, bahwa kalau pendapat itu kemah
dan jauh dari dasar penetapan hukum syara’ maka dianggap sebagai kesilapan,
bukan perbedaan pendapat.
Jadi
diutamakan keluar dari khilaf itu kalau kedudukan dua pendapat itu sama atau
hampir sama, sehingga tidak semua perbedaan pendapat diperhatikan.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
إِعْمَالُ الكَلاَمِ اَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ
“Mengamalkan maksud suatu kalimat lebih utama dari
menyia-nyiakannya"
Perkara itu
ada kalanya jelas maksutnya, dan ada kalanya yang kurang jelas maksutnya.
Terhadap yang telah jelas maksudnya. Maka haruslah diamalkan sesuai dengan
maksud itu, dan terhadap yang belum dijelaskannya, maka mengamalkan lebih baik
dari pada meniadakannya atau menyianyiakannya.
الْخَرَاجُ باِالضَّماَنِ
“Hak menetapkan hasil disebabkan oleh
keharusan menanggung kerugian”
Segala apa
yang keluar dari sesuatu baik berupa pekerjaan, manfaat maupun bneda-benda seperti buah dari pohon, susu dari kambing
dan sebagainya, dan kesemuanya adalah
menjadi milik dari yang menanggungnya, sebab kalua ada kerugian maka ia
pula yang menanggungnya.
اْلخُرُوجُ
مِنْ الْخِلاَ فِ مُسْتَحَبٌّ
“Keluar dari khilaf itu diutamakan”
Jadi
diutamakan keluar dari khilaf itu kalau kedudukan dua pendapat itu sama atau
hampir sama, sehingga tidak semua perbedaan pendapat diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Mujid, Abdul. 1994. Al Qawaid Fiqhiyyah (Kaidah kaidah Ilmu
Fiqh). Jakarta: Kalam Mulia.
Djazulli. A. 2007. Kaidah-Kaidah
fiqh Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis). Jakarta:
Kencana.
Zaidan, Abdul Karim. 2008.
Al-Wajiz 100 Kaidah Fiqh DAlam Kehidupan Sehari-Hari. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Komentar
Posting Komentar