Langsung ke konten utama

Kaidah-Kaidah Fiqih Umum (Kaidah 10,11 Dan 12)



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Masalah dalam masyarakat kini telah semakin banyak perkembangan , sehingga masalah-masalah pun semakin sulit dipecahkan dan didapatkan penyelesain. Al-Quran dan Hadist sebagai sumber utama ajaran Islam tidak semua memberikan penjelasan yang jelas, tetapi justru masih banyak yang bersifat global jika ditinjau dari masalah-masalah modern masa kini. Hal tersebut mengakibatkan kebanyakan masyarakat memutuskan secara tidak tepat atau tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kaidah fiqh banyak sekali yang sudah dirumuskan ulama’ yang digali dari beberapa sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Hadis. Sehingga kaidah itu bisa dijadikan pijakan untuk bermasyarakat atau bermuamalah. Karena pada dasarnya kaidah ini digunakan untuk pedoman sehingga lebih mudah dipahami, tetapi dalam berpedoman dengan kaidah-kaidah fiqh ada pengecualiannya, untuk itu diperlukan ketelitian dalam mengkaji mengenai kaidah-kaidah fiqh ini.
Dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan beberapa kaidah fiqh yang umum. Kaidah yang berbunyi mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih utama daripada menyinyiakannya, hak menetapkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian serta keluar dari khilaf itu diutamakan. Beberapa kaidah ini mengajarkan kepada kita untuk mengamalkan sesuatu kalimat, untuk mendapatkan hasil dari keharusan menanggung kerugian dan untuk keluar dari khilaf agar dapat memilah hokum yang lebih jelas.






BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kaidah Kesepuluh
إِعْمَالُ الكَلاَمِ اَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ
“Mengamalkan maksud suatu kalimat lebih utama dari menyia-nyiakannya"
Perkara itu ada kalanya jelas maksutnya, dan ada kalanya yang kurang jelas maksutnya. Terhadap yang telah jelas maksudnya. Maka haruslah diamalkan sesuai dengan maksud itu, dan terhadap yang belum dijelaskannya, maka mengamalkan lebih baik dari pada meniadakannya atau menyianyiakannya.
Contoh kaedah :
1.      Orang berwasiat memberikan hartaya kepada anak-anaknya , padahal ia sudah tidak mempunyai anak lagi kecuali cucu-cucunya, maka harta harus diberikan kepada cucunya.
2.       Seseorang mempunyai dua bejana yang satu untuk khamr yang satu untuk cuka. Kemudian orang tersebut mewariskan salah satu dari bejana tersebut. Wasiatnya adalah bejana cuka.
3.      Seseorang bersumpah tidak akan memakan apapun dari kendil itu. Maka termasuk di dalamnya segala apapun yang dimasak dengan menggunakan kendil tersebut
4.      Seseorang berkata kepada istri dan himarnya:”salah satu dari kalian aku talak”, maka berarti istrinya yang dicerai
Cabang-cabang dari kaidah ini adalah sebagai berikut:
الاصل في الكلام الحقيقة
Ketentuan dasar sebuah ucapan adalah (diarahkan pada) makna hakikinya”
            Makna kaidah : penggunaan kalimat mutakallim-baik syar’i, aqid,halif, atau lainnya-itu jika lafadz ucapan tadi mengandung makna hakiki dan sunyi dari korinah-qorinah yang lebih menggunakan makna majaz. Contohnya adalah jika seseorang mewakafkan kepada anak-anaknya, maka tercakup di dalamnya anak laki-laki dan perempuan. Karena hakikatnya ka anak (al walad) itu juga mencakup anak laki-laki dan perempuan.
اذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجز
Jika dirasa sulit untuk mengarahkan ucapan pada makna hakikatnya, maka diarahkan kepada makna konotasinya”
Syarat pemalingan makna  hakiki kepada makna majazi: Lafadz yang digunakan untuk makna majazi disyaratkan adanya qorinah yang mencegah datangnya makna hakiki seperti mustahil dan sukarnya bermakna hakiki, atau makna hakiki termahjur (terhalang) baik dari sudut pandang syara ataupun urf.
Contohnya Seseorang berwakaf kepada anaknya-padahal ia hanya mempunyai cucu, maka wakaf diberikan kepada cucunya tersebut. Cucu adalah makna majaz dari anak.
اذا تعذر اعمال الكلام يهمل
“Jika sulit memberlakukan suatu ucapan, maka ucapan tersebut tidak dapat diberlakukan”
Contohnya: Seseorang menuduh orang lain memotong tangannya, padahal tangannya masih utuh
ذكر بعض ما لايتجزأ كذرك كله
“Menyebutkan sebagian sesuatu yang tidak bias diperinci itu seperti menyebutkan keseluruhannya”
Contoh: Seseorang mencerai setengah atau seperempat (badan pen) istrinya, maka berarti ia mencerai seluruh (badan pen).
المطلق يجرى على أطلاقه مالم يقم دليل التقييد نصا او دلالة
“Sesuatu yang mutlak berlaku sejalan dengan kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya baik nash maupun dalalah”
Contoh: Seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membeli kuda atau mobil, lalu orang tersebut membelikannya warna merah atau putih. Kemudian orang yang mewakilkan tersebut berkata kepadanya bahwa ia mau yang berwarna hitam, maka sudah lazim apa yang dibeli oleh wakil tersebut, karena kalam yang mutlak berlaku sesuai dengan kemutlakannya.
الوصف فى الحاضر لغو وفي الغا ء ب معتبر
“Menshifati yang hadir (ada ditempat) itu sia-sia, dan menshifati sesuatu yang gaib (tidak ada ditempat) itu dianggap perkiraan)”
            Ruang lingkup kaidah : kaidah ini berlaku pada sebagian akad mubadalah seperti ba’i, ijarah, dan nikah, yang syarat sahnya adalah ma’rifatu albadalain, intifaa’u al juhaalah. Contohnya adalah: Seseorang berkata “ aku menjual kuda putih ini kepadamu”-sambil menunjuknya-padahal berwarna hitam-maka jual tersebut jadi sah jika pembeli menerimanya, dan sia sialah penyifatan tersebut. Sedangkan jika kuda tersebut taka ada (ditempat akad) dan sipenjual berkata bahwa ia menjual kuda putihnya, kemudian tampak jelas bahwa kudanya berwarna hitam, maka pembeli boleh khiyar.
السؤال معاد في الجواب
“Pertanyaan itu (diulang) dalam jawaban”
Contoh seseorang berkata pada orang lain: aku menjual rumahku atau tokoku. Lalu orang tersebut menjawab ya, tau aku terima, maka berarti ia ridlo dengan jual beli tersebut.
التأسيس اولى من التأكيد
“Ta’sis lebih diprioritaskan daripada ta’kid”
Contoh: Seorang suami berkata pada isterinya “ kamu aku talak kamu aku talak tanpa ada naiatan apapun, maka menurut qaul yang shahih adalah jatunya talak”.
B.  Kaidah Kesebelas
الْخَرَاجُ باِالضَّماَنِ
“Hak menetapkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”
Kaidah ini sebenarnya adalah hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidxi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Aisyah ra. Yang berbunyi:
اِنَّ رَجُلاً اِبْتَاعَ عَبْدًا فَاَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَاللّهُ اَنْ يُقِيْمَ  ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا فَخَا صَمَهُ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَليْهِ وَسَلَّمَّ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ فَقَالَ الرَّجُلُ: يارسول لله فَقَدَ اسْتَعْمَلُ غَلاَمِى فقال: الْخَرَاجُ بِالضَّماَنِ
“ Bahwa seorang laki-laki menjual seorang budak, maka budak itu bermukim di tempat pembeli  dalam beberapa hari kemudian si pembeli mendapatkan cacat pada budak tersebut dan melaporkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka nabi mengembalikan budak itu kepada laki-laki menjual. Maka berkatakanlah laki-laki itu “Wahai Rasulullah, ia (pembeli) telah mempekerjakan (mengambil manfaat) terhadap budakku”. Rasulullah bersabda :”Hak mendapatkan hasil itu disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.
Menurut Abu Ubaid, yang dimaksud dengan  الْخَرَاجُ pada hadist di atas adalah pekerjaan hamba yang telah dibeli seseorang yang kemudian menyuruh agar hamba itu bekerja untuk waktu tertentu. Setelah diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh penjual, kemudian ia kembalikan pada penjual tersebut, dengan diambil seluruh uang sesuai harganya dan ia telah mendapatkan keuntungan dengan mempekerjakan hamba itu karena ia telah memberikan pembelanjaannya, dan bila ada kerugian maka ia yang rugi.
Jadi Al-Kharaj adalah segala apa yang keluar dari sesuatu baik berupa pekerjaan, manfaat maupun bneda-benda  seperti buah dari pohon, susu dari kambing dan sebagainya, dan kesemuanya adalah  menjadi milik dari yang menanggungnya, sebab kalua ada kerugian maka ia pula yang menanggungnya
Contoh lain: Seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi, sebab , penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
C.  Kaidah Keduabelas
اْلخُرُوجُ مِنْ الْخِلاَ فِ مُسْتَحَبٌّ
“Keluar dari khilaf itu diutamakan”
Sedangkan dasar kaidah ini juga diambil dari Hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبْهَا تِ فَقَدِا سْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وعرضه
“Maka barang siapa menjaga diri dari subhat (tidak jelas hukumnya) maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
Menurut Tajuddin As-Subky, kaidah ini berasal dari firman Allah yaitu Al-Quran surat Al-Hujarat:12 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.(QS: Al-Hujarat:12)
Selanjutnya beliau berkata, bahwa ayat ini mengandung perintah untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan yang tidak berdosa, karena dikhawatirkan jatuh kepada pekerjaan yang berdosa. Tindakan berhati-hati ini memang kadang-kadang menganggap ada terhadap barang yang tidak ada, dan sesuatu yang diragukan menjadi seperti sungguh-sungguh.
Contoh konkrit dari kaidah ini adalah disunnahkan membasuh seluruh rambut kepala pada saat wudhu, agar terbebas dari perbedaan pendapat antara Maliki dan Hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian rambut kepala tetapi separo.
Dalam menggunakan kaidah diatas ulama memberikan beberapa ketentuan, sejauh manakah perbedaan itu bisa dikompromikan agar dalam implementasinya tidak menyebabkan kebimbangan dan kerancuan. Sedangkan syarat-syaratnya adalah:
1.      Pendapat yang lain tidak bias dipertahankan keabsahannya. Contoh: melakukan shalat witir tiga rakaat, apakah dengan satu kali salam atau du kali. Dalam permasalhannya ini pendapat yang mengatakan satu kali dalam salam tidak bias dipertahankan, karena sudah jelas bahwa pendapat Abu Hanifah tentang  satu kali salam bertentangan dengan hadist nabi.
2.      Perbedaan pendapat tidak berbenturan dengan Hadist yang shahih atau yang hasan. Contoh:seperti dalam masalah imam Hanadi yang melarang mengangkat tangan saat shalat , karena bias membatalkan shalat. Pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir dan shahih yang berbunyi:
“Aku Melihat Nabi SAW ketika memulai shalat mengangkat kedua tangan sama dengan oundaknya, serta sebelum ruku’ dan saat berdiri dari ruku’ (juga) dan beliau tidak mengangkatnya ketika diantara dua sujud”.
Dalam memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada beberapa syarat, yaitu:
1.      Jangan sampai membawa khilaf yang lain. Karena itu memutus shalat witir itu lebih utama dari pada menyambung nya.
2.      Jangan sampai menselisihi sunnah yang tsabitah. Sehingga karenanya dihukumi sunnah mengangkat tangan dalam shalat, dan tidak perlu memperhatikan pendapat yang membatalkan shalat dari sebagian ulama Hanafi, karena hadist tentang mengangkat tangan ini adalah jelas dari nabi SAW diriwayatkan dari 50 orang sahabat.
3.      Hendaknya kuat dasarnya, tidak hanya yang dianggap sebagai suatu kesilapan, sehingga karena itu puasa itu dalam bepergian lebih utama bagi yang kuat, dan tidak perlu diperhatikan pendapat Adh-Dhohiry yang menganggap bahwa puasanya tidak sah. Dalam hal ini Tahuddin As-Subky mengatakan, bahwa kalau pendapat itu kemah dan jauh dari dasar penetapan hukum syara’ maka dianggap sebagai kesilapan, bukan perbedaan pendapat.
Jadi diutamakan keluar dari khilaf itu kalau kedudukan dua pendapat itu sama atau hampir sama, sehingga tidak semua perbedaan pendapat diperhatikan.




BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan
إِعْمَالُ الكَلاَمِ اَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ
“Mengamalkan maksud suatu kalimat lebih utama dari menyia-nyiakannya"
Perkara itu ada kalanya jelas maksutnya, dan ada kalanya yang kurang jelas maksutnya. Terhadap yang telah jelas maksudnya. Maka haruslah diamalkan sesuai dengan maksud itu, dan terhadap yang belum dijelaskannya, maka mengamalkan lebih baik dari pada meniadakannya atau menyianyiakannya.
الْخَرَاجُ باِالضَّماَنِ
“Hak menetapkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”
Segala apa yang keluar dari sesuatu baik berupa pekerjaan, manfaat maupun bneda-benda  seperti buah dari pohon, susu dari kambing dan sebagainya, dan kesemuanya adalah  menjadi milik dari yang menanggungnya, sebab kalua ada kerugian maka ia pula yang menanggungnya.
اْلخُرُوجُ مِنْ الْخِلاَ فِ مُسْتَحَبٌّ
“Keluar dari khilaf itu diutamakan”
Jadi diutamakan keluar dari khilaf itu kalau kedudukan dua pendapat itu sama atau hampir sama, sehingga tidak semua perbedaan pendapat diperhatikan.




DAFTAR PUSTAKA

Mujid, Abdul. 1994. Al Qawaid Fiqhiyyah (Kaidah kaidah Ilmu Fiqh). Jakarta: Kalam Mulia.
Djazulli. A. 2007. Kaidah-Kaidah fiqh Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis). Jakarta: Kencana.
Zaidan, Abdul Karim. 2008. Al-Wajiz 100 Kaidah Fiqh DAlam Kehidupan Sehari-Hari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.


           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan Peradilan Agama Dengan Proses Penetapan Hukum Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya satu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.   Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan yang lainnya sebagai peradilan negara. Dalam menyelesaikan masalah-masalah perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. B.      Rumusa Masalah 1.       Apakah peranan Peradilan Agama dalam penegakkan hukum di Indonesia? 2.       Bagaimana perundangan-undangan dalam Peradilan Agama?

Tafsir Ayat-Ayat Ukhuwwah (Persaudaraan)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Al-Quran merupakan himpunan wahyu Allah, Dzat Maha Pencipta Alam Semesta, yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Di dalamnya terkandung pesan-pesan ilahi kepada manusia, oleh karena ia berkedudukan   amat penting bagi kita semua. Agar dapat menyerap inti sari pesan yang dikandungnya, maka setiap orang haruslah   memahami Al-Quran secara mendalam yang disertai dengan   perenungan makna isi kandungannya.