Langsung ke konten utama

Hubungan Peradilan Agama Dengan Proses Penetapan Hukum Di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya satu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan yang lainnya sebagai peradilan negara.
Dalam menyelesaikan masalah-masalah perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.

B.     Rumusa Masalah
1.      Apakah peranan Peradilan Agama dalam penegakkan hukum di Indonesia?
2.      Bagaimana perundangan-undangan dalam Peradilan Agama?
C. Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui peranan Peradilan Agama dalam penegakkan hukum di Indonesia.
2.      Mengetahui perundang-undangan dalam Peradilan Agama.




BAB II
PEMBAHASAN
                     
A.    Peranan Peradilan Agama dalam Penegakkan Hukum di Indonesia
Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-VII. Ajaran-ajaran agama Islam secara perlahan-lahan diterima masyarakat Indonesia dan menggeser ajaran-ajaran agama Hindu sebagai agama yang telah ada dan di anut oleh masyarakat sebelumnya. Penerapan ajaran agama Islam secara berangsur-angsur dijalankan dalam setiap kehidupan sehari-hari baik dalam pelaksanaan ibadah seperti salat, puasa, zakat, pelaksanaan dalam muamalah, munakahat dan sebagainya .[1]
Peradilan Agama pun mulai ada walaupun mula-mula masih dalam bentuk yang sederhana yang belum terbentuk dalam suatu lembaga khusus dan pada akhirnya mengalami perkembangan menjadi sebuah lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Dalam sejarah perkembngannya Peradilan Agama di Indonesia mengalami pasang surut dalam hal kewenangan dan kekuasaan mengadili perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam. Peradilan Agama dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman berpedoman pada ajaran-ajaran agama Islam.
Terdapat hubungan yang signifikan anatara Peradilan Agama dengan proses penerapan hukum Islam di Indonesia walaupun hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu saja. Perdilan Agama tidak mencakup pada masalah ibadah seperti salat, zakat, puasa dan lain-lain. Peradilan Agama tidak mencakup pula urusan pidana Islam (Jinayah dan hudud).[2]
Peradilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencar keadilan  yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang.[3]
Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta segi-segi administrasi Peradilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
-          Pengadilan Agama
-          Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama berkedudukan di Ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota Propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian. Pengadian Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tinggkat Banding. Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.[4]
Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, menuntut, dan mnyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud “antara orang yang beragama Islam” adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Kewenangan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu:
1.      Perkawinan;
2.      Waris;
3.      Wasiat;
4.      Hibah;
5.      Wakaf;
6.      Zakat;
7.      Infak;
8.      Shodaqoh;
9.      Ekonomi Syariah.

Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan tingkat Banding yang memeriksa, memmutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pada Peradilan Agama dapat dibentuk pengkhususan penagadilan yang diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 3A UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

B.     Perundang-Undangan yang mengatur Peradialn Agama
Hubungan antara Peradilan Agama dengan proses penerapan hukum Islam dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama sebagai berikut.

A.    Staatsblad Tahun 1854 Nomor 129
Pasal 78 peraturan ini menyatakan bahwa: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia (pribumi) maka mereka tunduk pada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka.
Pengadilan Agama berdasarkan peraturan ini mempunyai kekuasaan untuk mengadili orang Indonesia dalam perkara perdata Islam yang berkaitan dnegan kepentinga-kepentingan antara individu dengan individu lain.
Penerapan hukum Islam jelas sekali dengan pernyataan yang ada di dalam peraturan ini dengan menyatakan “menurut undang-undang agama” yaitu berdasarkan hukum Islam. Penerapan hukum Islam hanya menyangkut masalah keperdataan saja tidak termasuk di dalamnya mengenai pidana Islam (Jinayah dan hudud).[5]

B.     Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152
Berdasarkan peraturan ini secara juridis formal Peradilan Agama dibentuk oleh Pemerinatah Kolonia Belanda untuk daerah Jawa dan Madura. Peradilan Agama secara formal diatur tetapi dalam praktiknya ternyata pegawai-pegawai yang diangkat serta hakim-hakim yang ada tidak mendapatkan gaji sebagamana hakim-hakim atau pegawai-pegawai pengadilan di lingkungan peradilan lainnya.
Karena para ahli agama tidak ada yang mau diangkat menjadi hakim dan pegawai pengadilan, maka pegawai-pegawai yang diangkat akhirnya berasal dari pengurus-pengurus masjid yang belum begitu menguasai ilmu-ilmu agama Islam akhirnya penerapan-penerapan hukum Islam menjadi berkurang.
Penerapan hukum Islam berdasarkan peraturan ini menjadi lebih sempit baik dari segi wilayah kekuasaan maupun segi kewenangan dalam menangani perkara-perkara dalam Peradilan Agama. Penerapan hukum Islam hanya terbatas pada wilayah Pulau Jawa dan Madura selain daerah ini Peradilan Agama tidak dapat menjangkaub perkara-perkara tertentu yang diatur dalam peraturan ini. [6]

C.     Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610
Penerapan hukum Islam pada Peradilan Agama terbatas pada masalah-masalah tertentu, yaitu:
a.    Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam;
b.   Perkara nikah;
c.    Perkara talak (perceraian);
d.   Perkara rujuk;
e.    Perceraian antara orang yang beragama Islam;
f.     Memutuskan perceraian;
g.   Menyatakan syarat-syarat untuk jatuhnya taklik talak terpenuhi;
h.   Perkara mahar (mas kawin);
i.     Nafkah istri.

D.    Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639
Di luar Jawa dan Madura penerapan ajaran agama Islam pada Peradilan Agama terbatas pada daerah Kalimantan Selatan dan Timur saja. Penerapan masalah Islam terbatas pada masalah-masalah tertentu meliputi masalah yang diatur dalam staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 jo. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116  dan 610.

E.     Peraturan Pemerintahan Nomor 45 Tahun 1957
Berdasarkan peraturan ini penerapan hukum Islam di luar Jawa dan Madura lebih luas dibandingkan dengan peraturan Peradilan Agama di wilayah Jawa Madura sebagaimana diatur dalam Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Peradilan Agama di Kalimantan Selatan dan Timur sebagaimana diatur dalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639.
Penerapan hukum Islam paada Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura adalah sebagai berikut.
-          Perkara nikah
-          Perkara talak
-          Perkara fasakh
-          Perkara nafkah
-          Perkara mas kawin (mahar)
-          Perkara tempat kediaman
-          Perkara hadlanah
-          Perkara waris
-          Perkara mal waris
-          Perkara wakaf
-          Perkara hibah
-          Perkara shadaqah
-          Perkara baitul mal
-          Perkara perceraian
-          Perkara pengesahan taklik talak sudah berlaku.

F.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Penerapan hukum Islam pada peradilan Agama dalam peraturan ini berlaku bagi seluruh wilayah sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku secara menyeluruh bagi setiap warga negara Indonesia yang beragama Indonesia yang beragama Islam, mengubah dan menghapus peraturan-peraturan sebelumnya sepanjang tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.[7]
Penerapan hukum Islam dalam peraturan ini adalah sebagai berikut (Pasal 49).
a.       Perkawinan
Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan antara lain:
-          izin beristri lbih dari seorang
-          izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusian 21(dua puluh satu) tahun dalam hal orang tuan atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
-          dispensasi kawin
-          pencegahan perkawinan
-          penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
-          pemabatala perkawinan
-          guagatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri
-          perceraian karena talak
-          gugatan perceraian
-          penyelesaian harta bersama
-          penguasaan anak-anak
-          ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertanggun jawab tidak memenuhinya
-          penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
-          putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak
-          putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
-          pencabutan kekuasaan wali
-          penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan sorang wali dicabut
-          menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang  belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya
-          pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya
-          penetapan asal usul seorang anak
-          pengertian tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
b.      Warisan, Wasiat dan Hibah
Dalam hal warisan penerapan hukum Islam meliputi:
-          Penentuan siapa-siapa yang mennjadi ahli waris;
-          Penentuan mengenai harta peninggalan;
-          Penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
-          Melaksanakan pemabagian harta peninggalan.
Mengenai wasiat dan hibah tidak diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, perkara wasiat dan hibah yang diperiksa oleh Pengadilan Agama biasanya  berdasarkan pada kitab-kitab fiqh karangan para ulama fiqh. Baru tahun 1991 oleh Presiden Republik Indonesia telah ditetapkan Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang menjadi dasar pemeriksaan perkara-perkara wasiat dan hibah.
c.       Wakaf dan Sadaqah
Penerapan hukum Islam dalam bidang wakaf berkaitan dengan Perturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang Pewakafan Hak milik. Kemudian dalam Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1987 pelaksanaan wakaf sesuai ajaran agama Islam adalah dalam hal[8]:
-          Wakaf, wakif, nadzir, ikrar, dan saksi;
-          Bayinah (alat bukti administrasi tanah wakaf);
-          Pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf.
Pengaturan lebih lengkap dalam masalah wakaf diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Perkara shadaqah belum ada aturan yang mengatur secara juridis formal.



























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hubungan yang signifikan antara Peradilan Agama dengan proses penerapan Hukum Islam di Indonesia walaupun hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu saja. Peradilan Agma tidak mencakup pada masalah ibadah seperti shalat, zakat, haji, dan lain-lain. Peradilan Agama tidak mecakup pula urusan pidana Islam (jinayah dan hudud).
Hubungan antara Peradilan Agama dengan proses penerapan hukum Islam dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama yaitu Statsblad Tahun 1854 Nomor 129, Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639, Peraturan Pemerintahan Nomor 45 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, banyak hal yang masih belum dapat menjadikan makalah ini menjadi makalah yang memenuhi syarat. Makalah ini dapat dikatakan memenuhi syarat sempurna apabila pembaca memberikan  masukan kepada penulis sehingga penulis akan lebih giat lagi dalam mengoreksi dan membuat makalah yang benar dan sesuai kaidah Bahasa Indonesia.







DAFTAR PUSTAKA

Basri, Cik Hasan. 2000. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Ramulyo, M Idris. 1991. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. Jakarta: Ind-Hill.CO.
Tri Wahyudi, Abdullah. 2004. Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tri Wahyudi, Abdullah. 2014. Hukum Acara Peradilan Agama. Bandung: CV Mandar Maju.







[1] M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum, (Jakarta: Ind-Hil, 1991), hlm.9.
[2] Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2000), hlm.118.
[3] Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama (Bandung: CV Mandar Maju, 2014), hlm. 8.
[4] Ibid. hlm. 8.
[5] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 44.
[6] Ibid. hlm. 45.
[7] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 47.
[8] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 48

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah-Kaidah Fiqih Umum (Kaidah 10,11 Dan 12)

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Masalah Masalah dalam masyarakat kini telah semakin banyak perkembangan , sehingga masalah-masalah pun semakin sulit dipecahkan dan didapatkan penyelesain. Al-Quran dan Hadist sebagai sumber utama ajaran Islam tidak semua memberikan penjelasan yang jelas, tetapi justru masih banyak yang bersifat global jika ditinjau dari masalah-masalah modern masa kini. Hal tersebut mengakibatkan kebanyakan masyarakat memutuskan secara tidak tepat atau tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kaidah fiqh banyak sekali yang sudah dirumuskan ulama’ yang digali dari beberapa sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Hadis. Sehingga kaidah itu bisa dijadikan pijakan untuk bermasyarakat atau bermuamalah. Karena pada dasarnya kaidah ini digunakan untuk pedoman sehingga lebih mudah dipahami, tetapi dalam berpedoman dengan kaidah-kaidah fiqh ada pengecualiannya, untuk itu diperlukan ketelitian dalam mengkaji mengenai kaidah-kaidah fiqh ini. Dalam makalah ini penuli

Tafsir Ayat-Ayat Ukhuwwah (Persaudaraan)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Al-Quran merupakan himpunan wahyu Allah, Dzat Maha Pencipta Alam Semesta, yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Di dalamnya terkandung pesan-pesan ilahi kepada manusia, oleh karena ia berkedudukan   amat penting bagi kita semua. Agar dapat menyerap inti sari pesan yang dikandungnya, maka setiap orang haruslah   memahami Al-Quran secara mendalam yang disertai dengan   perenungan makna isi kandungannya.