Langsung ke konten utama

Sejarah Ketatanegaraan Islam



BAB II
PEMBAHASAN

A. Praktik Kenegaraan Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Sebagai agama yang paripurna,Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan dengan Tuhannnya, tetapi juga aspek hubungan antara sesama manusia. Selama karir kenabian selama 23 tahun, dan 13 tahun pertama Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Makkah dengan penuh tantangan dan penekanan pada aspek akidah, tetapi bukan berarti aspek sosial diabaikan. Dan ayat ayat yang diturunka pada periode ini justru berbicara tentang ketidakadilan, penindasan dan ketimpangan sosial lainnnya.[1] Tidak mengherankan jika pada periode ini pengikut Nabi Muhammad adalah orang-orang yang tertindas.
Berbeda dengan di Makkah, masyarakat Madinah dengan keberadaan Nabi Muhammad SAW dengan agama baru yang dibawanya mendapat tempat dan simpati. Hal ini dibuktika dengan peristiwa Ba’yah al-‘Aqabah pertama setahun sebelum beliau hijrah. Dalam peristiwa tersebut 12 orang penduduk Yastrib, pada musim haji, menyatakan ke Islamannya. Mereka menyatakan bahwa mereka hanya akan bahwa mereka hanya akan menyembah Allah, meningalkan perbuatan mencuri, zina, berbohong dan tidak akan menghianati Nabi. Kemudian pada tahun berikutnya, sebanyak 73 orang Yastrib yang sudah memeluk Islam kembali ke Makkah mempertegas pengakuan keIslamannya sebagaimana mereka membela anak dan istri. Dalam kesempatan inilah mereka mengajak Nabi Muhammad dan peristiwa ini disebut Bay’at al-“Aqabah kedua.[2]
Awal yang dilakukan Nabi Muhammad saat berada di Madinah adalah adalah membuat Piagam Madinah. Dan piagam ini berisi 47 pasal yang memuat peraturan dan hubungan antara berbagai komunitas dalam masyarakat Madinah yang majemuk. Di negara baru ini juga Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai kepala negara dan Piagam Madinah sebagai konstitusinya. Madinah dapat dikatan sebagai negara juga sesungguhnya, karena telah memenuhi syarat-syarat pokok berdirinya suatu negara, yaitu wilayah, rakyat, pemerintahan, serta undang-undang dasar.
Terwujudnya Piagam Madinah merupakan bukti sifat kenegarawanan Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak hanya mementingkan umat Islam, tetapi juga mengakomodasi  kepentingan orang Yahudi dan mempersatukan kedua umat serumpun ini dibawah kepemimpinannya. Terhadap orang-orang Yahudi, Nabi SAW membangun persahabatan dan menghormati keberadaan mereka. Karena bagaimanapun, orang Yahudi juga adalah penduduk Madinah yang telah tinggal disana sejak abad pertama dan kedua Masehi. Selain itu, pada awal keberadaan Nabi Muhammad SAW di Madinah, beliau memiliki sekertaris yang berasal dari golongan Yahudi dan Nabi membutuhkan tenaganya karena orang Yahudi menguasai bahasa Ibrani dan Suryani.[3]
Namun setelah melihat pengaruh Nabi yang begitu besar dan kedudukan umat Islam semakin kuat, timbullah pembangkangan dari kaum Yahudi. Salah satu terornya adalah dengan memprovokasi antara suku Auz dan Khazraj. Begitu pandainya kaum Yahudi dalam memprovokasi kedua kaum itu dengan mengungkit-ngungkit masalah yang lama yaitu perang Bu’ats. Namun setelah itu Nabi datanng, dan peristiwa inilah yang melatarbelakangi turunnya Surat Ali Imran:103.
Secara kelompok, mereka juga melakukan pelanggran terhadap Piagam Madinah. Peristiwa yang terjadi pada Syawal tahun kedua Hijriah ini merupakan bukti pelanggaran Yahudi Bani Qainuqa’ terhadap Piagam Madinah. Mereka telah mengganggu kebebasan seseorang untuk menjalankan agamanya dan mereka juga bersalah karena telah membunuh seorang Muslim. Setelah kejadian itu juga beberapa kaum Yahudi juga melanggarnya yaitu Bani Nadir, Bani Quraizah dan mengakibatkan kaum Yahudi ini dikeluarkan dari kota Madinah.[4] Setelah penghiantan yang terakhir yang dilakukan Bani Quraizah, praktis kekuatan Yahudi hancur, meskipun ada beberapa suku Yahudi yang masih mematuhi Piagam Madinah.
Dilihat dari sumber kekuasaan negara, Allah menegaskan bahwa kekuasaan mutkak berada di tangan-Nya (QS. Ali Imran:19). Namun ditinjau dari bagaimna Nabi memperoleh kekuasaan atas masyarakat Madinah, hal itu beliau dapatkan dari perjanjiannya dengan masyarakat Madinah perjanjian yang dikenal dengan Bayan al-‘Aqabah. Dan dalam konteks Bayan al-‘Aqabah penduduk Madinah mematuhi apa yang diperintahkan Nabi Muhammad SAW, dan sebaliknya Nabi Muhammad SAW selaku penerima kekuasaan akan melindungi mereka, dan mensejahterkannya.
Dalam praktiknya Nabi Muhammad SAW menjalankan pemerintahan yang tidak terpusat di tangan beliau. Untuk mengambil keputusan politik Nabi melakukan konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat dan dengan sahabat senior. Dalam menjalankan pemerintahan di Negara Madinah, kelihatannya Nabi Muhammad tidak memisahkan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dibawah naungan wahyu Al-Quran, Muhammad SAW menjalankan kekuasaan legislatif.[5] Beliau juga menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah tersebut kepada masyarakat Madinah. Untuk permasalahan yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Quran, Nabi sendiri yang menentukan dan mengaturnya. Nabi Muhammad menentukan sendiri hukum terhadap permasalahn yang tidak dijelaskan di Al-Quran.
Untuk politik dalam negeri, Beliau juga menciptakan kesatuan dan persatuan yaitu dengan berhasil meredam konflik-konflik antar masyarakat seperti contoh setiap golongan Muhajirin harus memiliki golongan dari Anshar. Sementara untuk melindungi ketertiban umum, Nabi SAW membentuk lembaga hisbah, yang berfungsi mengawasi kecurangan perdagangan di pasar. Sedangkann untuk pemerintahan di daerah, beliau mengangkat sebagai gurbernur atau hakim.[6] Yaitu dengan diangkatnya sahabat Muadz bin Jabl sebagai Hakim di Yaman. Dalam hubungan internasional, kebijakan politik yang ditempuh Nabi Muhammad SAW adalah menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara sahabat. Beliau mengirim surat-surat dakwah kepada-kepada negara lain.
Dari bebrapa penjelasan praktik kenegaraan yang dimainkan Nabi Muhammad dilihat dari sumber kekuasaan maka pemerintahan negara Madinah ialah teokrasi, Dan syariat sebagai dasar kebijakan politik Muhammad. Sedangkan ditinjau dari pelaksanaannya kekuasaan, sistem pemerintahannya adalah demokratis. Nabi Muhammad sebagai pemegang keuasaan tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Sebagai Rasul Allah beliau menyampaikan dakwah dan akhirnya mendapat kepercayaan dari penduduk Madinah.
B. Ketatanegaraan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. Abu Bakar As-Shidiq        
Setelah Nabi Muhammad wafat, persoalan yang dihadapi adalah pengganti kepemimpinannya. Nabi SAW juga tidak pernah memberi petunjuk tentang cara penentuan pemimpin kala itu. Dan ketidakadaan petunjuk ini membuat permasalahan/perdebatan di kalangan umat Islam. Demikian pula Al-Quran tidak memberi petunjuk secara tegas tentang pembentukan pemerintahan yang harus diikuti kaum muslimin.[7]
Sehari setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kaum Anshar memprakarsai musyawarah besar di Tsiqah Bani Sa’idah. Mereka bingung siapa pengganti kepemimpinan setelah nabi wafat. Akhirnya mereka berkumpul dan bermusyawarah dan dipilihlah Abu Bakar sebagai pengganti kepemimpinan Madinah. Abu Bakar dipilih karena saat Nabi Muhammad sakit, Abu Bakar lah yang menggantikan posisi imam sholat, dan Abu Bakar juga pada saat musyawarah itu mengungkapkan pendapat yang merupakan imbauan untuk umat Muslimin agar tidak terpecah belah. RIwayat lain menyebutjan bahwa ketegangan menjadi reda setelah Abu Bakar memperkuat pandangannya dengan menyitir sebuah Hadist Nabi yang menyatakan bahwa khalifah atau pemimpin berasal dari Quraisy.[8]
Pada dasarnya musyawarah yang dilakukan itu berlangsung hangat, terbuka dan demokratis. Pemilihan Abu Bakar juga tidak didasarkan pada sistem keturunan, atau keseniorannya, tetapi karena beliau memiliki kapasitas pehaman agama yang tinggi, berakhlak mulia dan orang yang paling dahulu masuk Islam. Dan terpilihnya Abu Bakar As-Shidiq menjadi khalifah pertama, menjadi dasar bentuk pemerintahan sistem khilafah dalam Islam yang terkenal dengan khilaf Khulafaur Rasyidin.
a. Kebijakan Politik Abu Bakar
Setetalah terpilih menjadi khalifah, Abu Bakar menyampaikan pidato kenegaraannya di Masjid Nabawi. Dari pidato tersebut, pelantikan Abu Bakar dapat dikatakan sebagai kontrak sosial antara pemimpin dan rakyatnya. Karenanya, Abu Bakar hanya ,menuntut kepatuhan dan kesetiaan umat kepadanya selaa ia berada di jalan yang benar, menjain kebebasan bependapat rakyatnya, menegakkan keadilan HAM, jihad pada saat yang dibutuhkan, dan perintah untuk menjalankan shalat. Prinsip-prinsip tersebut merupakan penegasan kembali terhadap garis kebijakan politik Nabi Muhammad SAW.[9]
Pada tahun pertama jabatan Abu Bakar kepemipinannya langsung diuji, yaitu dengan menghadapi tantangan dari umat Islam sendiri yang menentang kepemipinannya. Masalah itu sendiri seperti murtad, kembali ke agamanya yang dulu, enggan bayar zakat, dan nabi palsu.Disamping ancaman dari dalam ancaman dari luar juga, yaitu kaisar Romawi, Hiraclius, yang mengusai Syiria dan Palestina dan Kisra kerajaan Persia yang mengusai Irak. Dua kerajaan besar ini selalu berekongkol untuk menghancurkan Islam.[10]
Di luar negeri, Abu Bakar mempunyai utang melepas tentara Islam yag dipimpin Usamah ibn Zaid untuk menghadapi tentara Romawi di Mut’ah. Dalam pertempuran di Tabuk, Zaid ibn Haritsah, ayah Usamah yang menjadi panglimanya gugur. Nabi Muhammad SAW ingin memerangi kembali orang-orang Romawi di Mut’ah itu dengan persiapan Usamah menjadi panglima perangnya, namun rencana itu tertunda karena tidak lama kemudian beliau wafat. Ada kalangan yang kurang sreg dipimpin Usamah saat perang yaitu kaum Anshar tetapi pada ahirnya peperanagn itu dimenangkan kaum muslim.
Setelah berhasil dengan rencana nabi yang tetunda itu, kemudian Abu Bakar segera menghadapi dan memangi orang orang yang enggan bayar zakat, nabi-nabi palsu, dan orang-orang murtad. Tetapi ada beberapa sahabat yang kurang setuju dengan memerangi orang yang enggan bayar zakat, tetapi pada akhirnya ketegasan Abu Bakar lah, yaitu tetap memerangi orang yang enggan bayar zakat. Dan dari memerangi orang orang murtad dan enggan membyar zakat, banyak orang yang hafal Al-Quran yang gugur dalam pertempuran. Kemudian Umar menyarankan untuk mengumpulkan Al-Quran yang masih tercecer.
Setelah berhasil dalam hal-hal diatas, kemudian Abu Bakar memfokuskan untuk pembenahan negara. Sistem pemerintahan Abu Bakar bisa dikataka modern di zamannya. Untuk pelaksanaa tugas eksekutif. Dalam kaitan dengan itu Abu Bakar melakukan pembagian kekuasaan di kalangan sahabat senior yang diantaranya bentuk bentuk stukturnya adalah:[11]
Struktur pemerintahan Abu Bakar






Text Box: Majelis Syura (Umar,Usman Ali, Muadz bin Jabal

Text Box: Khalifah (Abu Bakar)

 
Text Box: WazirText Box: Bendahara (Abu UbaidahText Box: Sekertaris (Ali, Usman, dan Zaid bin TsabitText Box: Hakim Agung (Umar bi Khttab)Text Box: RakyatText Box: Kepala DaerahText Box: Panglima Perang                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
2. Masa Umar bin Khattab
Tidak seperti Abu Bakar yang dipilih di dalam musyawarah para sahabat, Umar ditunjuklangsung oleh Abu Bakar melalui wasiat. Seteah dilntik menjaadi khalifah, Umar berpidato di hadapan umat Islam untuk menjelaskan visi politik arah kbijakan yang akan dilaksanakannya dalam memimpin kaum Muslimin. Dalam pidato itu menggambarkan pandangan Umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian, antara pemimpin dan yang dipimpin harus terjadi hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tanggung jawab.[12]
Selama 10 tahun pemerintahan Umar, kekuasaan Islam telah melebarkan sayapnya melampaui Jazirah Arabia. Bahkan kedua adidaya ketika itu, Persia dan Bizantium behasil jatuh ke tangan umat Islam. Banyak sekali yang berhasil diraih pada kepemimpinan Umar yaitu yang salah satunya peluasan wilayah, yaitu dengan berhasil menaklukkan Damskus, dan selamjutnya Syiria, dan Iraq, sehingga pada saat kepemimpinan Umar wilayah sangat luas.
a. Kebijakan Politik Umar bin Khattab
Luasnya daerah kekuasaan Islam membuat Umar perlu membenahi sistem pemeritahan yang telah dijalankan Abu Bakar. Yaitu dengan tetap memilih Madinah sebagi pusat pemerintahn Islam. Dia juga meminta sahabat-sahabat senior untuk dimintai masukan terkait dengan pimpinannya yang disebut dengan majelis syura atau seperti pada kepemimpinan Abu Bakar. Umar juga memanfaatkan musim haji sebagai forum untuk mengadakn evaluasi atas pemerintahannya, dan pada masa pemerintahannya daerah-daerah dibagi menjadi 8 provinsi yaitu Madinah, Makkah, Syiria, Jazirah, Kufah, Bashrah, Mesir dan Palestina.
Pada masa Umar juga lembaga-lembaga penting mulai dibuat(semacam departemen) untuk pertama kali mulai dibentuk.Umar membentuk kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat dan lembaga pekerjaan umum yang menangani masalah-masalah pembangunan fasilitas umum,gedung-gedung pemerintahan, irigasi, dan rumah sakit. Lembaga peradilan mulai terpisah dari kekuasaan eksekutif. Umar juga membentuk departemen perpajakan (al-Kharaj) untuk mengelola pajak-pajak daerah. Tentara juga disiapkan secara khusus, dan mendapat gaji.[13]
Disamping itu Umar juga mendirikan Kantor Perbendaharaan dan keuanga negara (Bayt al-Mal) yang permanen, menempatkan mata uang, dan menetapkan tahun Hijrah sebgai penaggalan Islam. Untuk pemerintahan di daerah, Umar mengangkat gubernur yang mempunyai otonomi yang luas, dengan fungsi membantu khalifah. Dan juga dalam rekruitmen pejabat, Umar sangat mementingkan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu Umar juga, mewajibkan para pejabat yang baru untuk melaporkan kekayaannya, yang kegunaannya untuk mengetahui harta pejabat (bagaimana dia memperoleh). Umar juga sangat tegas terhadap para pejabatnya yang tidak bisa menjalankan pemerintahan dan sangat lembut terhadap rakyatmya. Umar selalu mengatakan bahwa ia mengrimkan pejabat kepada mereka bukan untuk berlaku alim atau memukul mereka, melainkan untuk mengajarkan agama dan membagi rampasan perang buat mereka.
Sisem pemerrintahan Khalifah Umar:[14]


 
Text Box: Kepala DaerahText Box: Hakim PerangText Box: RakyatText Box: PerpajakanText Box: PertahananText Box: Pekerjaan UmumText Box: Sekertaris NegaraText Box: BnedaharaText Box: Kepolisian                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 
Dari gambaran diatas terlihat bahwa Umar telah membagi kekuasaan secara terpisah. Untk pertama kalinya dalam sejarah Islam, Umar mulai memisahkan kekuasaan legislatif (majelis syura),yudikatif (Qadha’), dan eksekutif (khalifah), meskipun tentu saja pemisahan ini tidak bisa diperbandingkan dengan sistem pemerintahan modern trias politica seperti sekarang ini.Kebijakan ini menunjukkan bahwa Umar memang seorng negarawan dan administrator yang bijak. Umar tidak mencampuradukkan tiga kekuasaan tersebut, sehingga pemerintahan dapat brjalan dengan baik dan membawa kepada kemaslahatan umat Islam.
3. Masa Usman bin Affan
Sebagaimana sebelumnya, Usman juga melakukan pidato kenegaraan saat pelantikannya khalifah. Dalam pdato itu Usman menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang corak politik belaka yang dominan. Dan himbaun kepada umat Islam agar selalu berbuat baik dan tetap mengingat Allah, dan serta Umat Islam boleh mengkritiknya ketika ia menyimpang dari ketentuan hukum.[15]
a. Kebijakan politik Usman bin Affan
Pada dasarnya garis kebijakan yang dilaksanakan Usan adalah mengau pada khaifah Abu Bakar dan Umar. Tugaas pertama yang dilakukan Usman adalah dengan mengirim surat kepada para gurbernur yang berisi tentang untuk selalu berbuat amal makruf nhi munkar, selalu memegang janji, melindungi hak-hak kaum musllimin. Untuk para pemimpin miiter ia menyatakan bahwa meeka adalah pelindung dan pembela Islam. Usman juga melakukan perluasan wilayah sperti Umar, dengan berhasilnya menaklukkan Ray dan Rum,tentara Romawi di Cyprus dan mengusai daerah tersebut, Andalus. Selain daeah-daerah tersebut, kekuasaan Islam pada masa Usman telah meliputi Azarbaijan, Afghan, Armenia, Kurdistan dan Herat.[16]
Selain penaklukkan di atas, Usman juga menempuh kebijaksanaan memperbanyak mushaf Al-Quran dan mengirimkannya untuk beberapa daerah. Kebijaksanaan ini berawal dari perbedaan dialek masing-masing daerah dan qiraah yang berbeda. Usman pun menyetujuinya stetalah terlebih dahulu bermusyawarah dengan sahabat lainnya. Usman juga melakukan pembagunan fisik lainnya seprti perumahan penduduk, gedung peradilan, jalan-jalan,jembatan dan fasilitas umum lainnya.
Namun setelah keberhasilannya dalam beberapa hal diatas, tepatnya pada enam tahun kedua, yaitu protes dan ketidakpuasan rakyat dalam tiga hal seperti sosial politik, pendayguna kekayaan negara, dan kebijaksanaan keimrigasian. Dalm bidang politik, banyak sejarawan yang meilai Usman yaitu melakukan praktik nepotisme (mengangkat pejabat dari keluarganya). Dalam pendayagunaan kekayaan negara, disinyalir pula bahwa Usman dimanfaatkan oleh orang-orang dekatnya untuk menyalahgunakan kekayaan negara demi kepentngan pribadi keluarga mereka. Dan dalam masalah keimrigasian, Usman membolehkan sahabat-sahabt senior meninggalkan Hijaz, dengan pandangan bahwa tenaga mereka dibutuhkan untuk mengajar agama di daerah tersebut.[17]
4. Masa Ali bin Abi Thalib
Setelah pembunuhan usman para pemberontak dari berbagai daerah mencari beberapa sahabat senior seperti thalhah,zubeir dan sa’ad bin waqash untuk di baiat menjadi khalifah.namun di antara mereka tidak ada yang bersedia. Akhirnya mereka menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia, karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan penduduk Madinah dan veteran perang badr (sahabat senior). Menurutnya orang yang didukung oleh komunitas inilah yang lebih berhak menjadi khalifah. Akhirnya Malik al-Asytar al-Nakha’i melakukan baiat dan diikuti keesokan harinya oleh sahabat besar seperti Thalhah dan Zubeir.menurut sebuah riwayat, Thalhah dan Zubeir membaiat Ali di bawah ancaman pedang oleh Malik al-Asytar.
a.Kebijaksanaan Khalifah Ali
Namun demikian, Ameer Ali menyatakan: “ ia berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan. Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok  yang berpangkal dari pembunuhan khalifah usman Ia membenahi dan menyusun arsip negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah, membentuk kantor hajib (bendaharawan) dan kantor sahib-ushshurtah (pasukan pengawal), serta mengorganisir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.”
Pemerintahan Ali juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan. Setelah pemberontakan di Kabul dan Sistan ditumpas, tentaranya mengadakan serangan laut atas Koukan (bombay). Ia juga mendirikan pemukiman-pemukiman militer di perbatasan Syria dan membangun benteng-benteng yang kuat di utara perbatasan Parsi.
Dalam pengelolaan uang negara Khalifah Ali mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Khalifah Umar, harta rakyat dikembalikan kepada rakyat. Sikap jujur dan adil yang diterapkan Ali ini menimbulkan amarah di antara sejumlah pendukungnya sendiri dan kemudian berpihak kepada Muawiyah.dalam pengawasan terhadap tindakan para gubernur, Ali bertindak tegas dan tidak piih kasih serta memantau mereka secara terus-menerus.
Dalam sifat sikap egalitarian, Ali bahkan mencontohkan sosok seorang kepala negara yang berkedudukan sama dengan rakyat lainnya.  
C. Pemrintahan Pasca Khulafaur Rasyidin
1.Pemerintahan Dinasti Umayah
Setelah Ali tewas terbunuh, pengikut-pengikutnya mengangkat Hasan ibn Ali menjadi khalifah di kufah. Sementara di Syam, kedudukan Mu’awiyah pun semakin kukuh didukung oleh penduduknya. Hasan pun bukanlah lawan yang berarti bagi muawiyah. Hasan yang lemah dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya dan membuat perjanjian damai dengan muawiyah. Peristiwa ini menandakan rekonsiliasi umat islam, setelah umat islam bertikai beberapa tahun lamanya Hasan pun melakukan baiat terhadap muawiyah padatahun 41H/661M. Dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam.
Sejalan dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik dalam dan luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan menyempurnakannya:[18]
  1. Pemindahan pusat pemerintahan dari madinah ke Damaskus.
  2. Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai puncak kekuasaan.
  3. Menumpas orang-orang yang berposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak
  4. Membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga angkatan, darat, laut dan kepolisian yang tangguhdan loyal.
  5. Meneruskan perluasan wilayah kekuasaan islam baik ke Timur maupun ke Barat.
  6. Baik Muawiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman khulafa al-rasyidin.
  7. Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh Muawiyah adalah mengubah sistem pemerintahan dari bentuk khilafah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki.
Setelah berjaya selama seratus tahun akhirnya pada 759 M. Dinasti Bani Umaiyah hancur dan digantikan oleh Bani Abbas. Untuk melihat faktor-faktor kehancurannya, perlu kiranya diperhatikan latar belakang internal dan eksternal dalam kerajaan ini. Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam fakto internal, yaitu:
Pertama, sejak semula daulat Bani Umaiyah sudah menetapkan platformnya sebagai negara “sekuler”. Kedua, sistem suksesi berdasarkan warisan.Ketiga, politik diskriminatif kerajaan terhadap non-Arab.Dalam faktor eksternal, gangguan-gangguan dari gerakan oposisijuga turut memperlemah kerajaan ini. Di antara yang paling berbahaya adalah gerakan khawarij di Oman, Syiah di Kufah dan Abdullah ibn Zubeir yang mendapat dukungan dari penduduk hijaz, Yaman, Irak, dan Iran. Gerakan-gerakan oposisi yang gencar ini tentu tidak dapat dipisahkan dari latar belakang berdirinya Daulat Bani Umaiyah oleh Muawiyah. Mereka kecewa dengan cara-cara licik muawiyah dalam mencapai puncak kariernya sebagai Khalifah. Gerakan-gerakan oposisi tersebut senantiasa menggrogoti daulat bani Umaiyah, sehingga melemahkan kerajaan tersebut.
Akhirnya pada tahun 133 H/750 M revolusi bani abbas berhasil menghancurkan kekhalifahan ini. Peta politik umat islam pun berganti dan “dikuasai kembali” oleh keluarga Bani Hasyim.
Struktur pemerintahan Bani Umayyah[19]








Text Box: Rakyat
 











2. Pemeritahan Dinasti Abbasiyah
Setelah pemerintahan bani umaiyah jatuh, kekuasaan khilafah jatuh ke tangan Bani Abbas, keturunan Bani Hasyim suku quraisy sebagaimana Bani Umaiyah juga suku Quraisy. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-Abbas seorang keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW. Berdirinya Dinasti Abbasiyah ini merupakan hasil perjuangan gerakan politik yang dipimpin oleh Abu al-Abbas yang dibantu oleh kaum Syiah dan orang-orang Persi. Pada tahun 750 M  Abu al-Abbas diangkat sebagai Khalifah di Kufah (750 M-754 M).
Dalam mempertahankan kekuasaan, sebagaimana Bani Umaiyah, dilakukan dengan cara kekerasan dan intrik-intrik politik. Khalifah-khalifah besar Bani Abbas yang membawa Dinasti ke puncak kejayaan di bidang ekonomi dan perdagangan, politik, sosial, militer, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan adalah Abu ja’far al-Mansyur, Al-Mahdi, Harun al-Rasyid, al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al-Watsiq dan Al-Mutawakkil. Dinasti inilah yang membawa dunia islam menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia, dan menjadi kekuatan raksasa di dunia belahan timur.
Struktur organisasi Dinasti Abbasiyah terdiri dari al-khilafat, al-wizarat, al-kitabat dan al-hijabat. Sedangkan Al Khilafat yaitu, menyatukan kekuasaan agama dengan politik, Al-Wizarat adalah salah sau aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas tugas kepala negara, Al-Kitabat pengaruh wazir-wazir dalam pemerintahan membutuhkn tenaga-tenaga untuk membantu tugas-tugasnya dalam mengkoordinasi masing-masing tugasnya. Sedngkan aspek Hijabah yaitu pengawl khalifah
D. Pemerintahan Pasca Khalifah
a. Kerajaan Turki Utsmani
Masa pemerintahannya berjalan rentan waktu yang cukup panjang sejak taun 1299M-1924M. Kurang lebih 6 abad. Dalam waktu yang demikian panjang kerajaan Turki Utsmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana diketahui, bahwa kekuasaan Turki Utsmani tidak hanya terbatas kekuasaan wilayah melainkan agama.
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dri daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih kurang 3 bad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke 9 atau ke 10 ketika menetap di Asia Tengah. Dibawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13M bangsa Turki dengan dipimpin Artogal melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.
Artogol dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.
Pada tahun 1289 M Artogol meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.[20]
Sebagaimana diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia, dan kekuasaan spiritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai title Sultan, dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah



KESIMPULAN

Sebagai agama yang paripurna,Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan dengan Tuhannnya, tetapi juga aspek hubungan antara sesama manusia. Selama karir kenabian selama 23 tahun, dan 13 tahun pertama Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Makkah dengan penuh tantangan dan penekanan pada aspek akidah, tetapi bukan berarti aspek sosial diabaikan. Dan ayat ayat yang diturunka pada periode ini justru berbicara tentang ketidakadilan, penindasan dan ketimpangan sosial lainnnya.
Ini dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan pada masa Khulafaur Rasyidin. Seperti pada masa Abu bakar. Setetalah terpilih menjadi khalifah, Abu Bakar menyampaikan pidato kenegaraannya di Masjid Nabawi. Dari pidato tersebut, pelantikan Abu Bakar dapat dikatakan sebagai kontrak sosial antara pemimpin dan rakyatnya.Slanjutnya pada masa umar bin khatab. Selama 10 tahun pemerintahan Umar, kekuasaan Islam telah melebarkan sayapnya melampaui Jazirah Arabia. Bahkan kedua adidaya ketika itu, Persia dan Bizantium behasil jatuh ke tangan umat Islam.Lalu pada masa usman bin afan.Pada dasarnya garis kebijakan yang dilaksanakan Usan adalah mengau pada khaifah Abu Bakar dan Umar. Tugaas pertama yang dilakukan Usman adalah dengan mengirim surat kepada para gurbernur yang berisi tentang untuk selalu berbuat amal makruf nhi munkar, selalu memegang janji, melindungi hak-hak kaum musllimin. Di lanjutkan pada pemerintahan Ali bin abi thalib, Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok  yang berpangkal dari pembunuhan khalifah usman.
Di lanjutkam paska masa kulafah urosidhin adalah Pemerintahan Dinasti Umayah. Setelah Ali tewas terbunuh, pengikut-pengikutnya mengangkat Hasan ibn Ali menjadi khalifah di kufah. Sementara di Syam, kedudukan Mu’awiyah pun semakin kukuh didukung oleh penduduknya. Hasan pun bukanlah lawan yang berarti bagi muawiyah kerajaan turki usmani. Setelah pemerintahan bani umaiyah jatuh, kekuasaan khilafah jatuh ke tangan Bani Abbas, keturunan Bani Hasyim suku quraisy sebagaimana Bani Umaiyah juga suku Quraisy. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-Abbas seorang keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW. Dan di lanjutkan pada masa turki usmani. Masa pemerintahannya berjalan rentan waktu yang cukup panjang sejak taun 1299M-1924M. Kurang lebih 6 abad. Dalam waktu yang demikian panjang kerajaan Turki Utsmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana diketahui, bahwa kekuasaan Turki Utsmani tidak hanya terbatas kekuasaan wilayah melainkan agama.




DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Muhammad. 2014. Fiqh Siyasah. Jakarta: Prenamedia Group.
Pulungan, Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah Ajaran Sejrah dan Pemikiran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sjadzali, Munawir. 2011. Islam dan Tata Negara. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.


[1] Fazlur Rahman, dalam Fiqh Siyasah karya Muhammad Iqbal, (Jakarta: Prenada Media,2014), hlm.35.
[2] Munawir Sjadzali,Islam dan Tata Negara, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2011), hlm.9.
[3] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta:Prenamedia Grup, 2014), hlm.39.
[4] Ibid., hlm.41.
[5] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta:Prenamedia Grup, 2014), hlm.46.
[6] Ibid., hlm.47.
[7] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm.103.
[8] Al-Mawardi, dalam buku Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm.106.
                                     
[9] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2014), hlm.54.
[10] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Paemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2002), hlm.109.
[11] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2014), hlm.59.
[12] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran Sejrah dn Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm.119.
[13] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2014), hlm.66.
[14] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2014), hlm.68.
[15] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Paemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2002), hlm.142.
[16] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2014), hlm.68.
[17] Ibid.,hlm.82.
[18] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Paemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2002), hlm.164-166.
[19] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2014), hlm.94.

[20] Ria Nuris Samawati, Ketatanegaraan Pada Masa Abasyiah dan Turki Utsmani,dalam http://nurisrnswnl.blogspot.com , Diakses pada13 September 2017 pukul 18.00.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah-Kaidah Fiqih Umum (Kaidah 10,11 Dan 12)

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Masalah Masalah dalam masyarakat kini telah semakin banyak perkembangan , sehingga masalah-masalah pun semakin sulit dipecahkan dan didapatkan penyelesain. Al-Quran dan Hadist sebagai sumber utama ajaran Islam tidak semua memberikan penjelasan yang jelas, tetapi justru masih banyak yang bersifat global jika ditinjau dari masalah-masalah modern masa kini. Hal tersebut mengakibatkan kebanyakan masyarakat memutuskan secara tidak tepat atau tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kaidah fiqh banyak sekali yang sudah dirumuskan ulama’ yang digali dari beberapa sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Hadis. Sehingga kaidah itu bisa dijadikan pijakan untuk bermasyarakat atau bermuamalah. Karena pada dasarnya kaidah ini digunakan untuk pedoman sehingga lebih mudah dipahami, tetapi dalam berpedoman dengan kaidah-kaidah fiqh ada pengecualiannya, untuk itu diperlukan ketelitian dalam mengkaji mengenai kaidah-kaidah fiqh ini. Dalam makalah ini penuli

Hubungan Peradilan Agama Dengan Proses Penetapan Hukum Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya satu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.   Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan yang lainnya sebagai peradilan negara. Dalam menyelesaikan masalah-masalah perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. B.      Rumusa Masalah 1.       Apakah peranan Peradilan Agama dalam penegakkan hukum di Indonesia? 2.       Bagaimana perundangan-undangan dalam Peradilan Agama?

Tafsir Ayat-Ayat Ukhuwwah (Persaudaraan)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Al-Quran merupakan himpunan wahyu Allah, Dzat Maha Pencipta Alam Semesta, yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Di dalamnya terkandung pesan-pesan ilahi kepada manusia, oleh karena ia berkedudukan   amat penting bagi kita semua. Agar dapat menyerap inti sari pesan yang dikandungnya, maka setiap orang haruslah   memahami Al-Quran secara mendalam yang disertai dengan   perenungan makna isi kandungannya.