BAB II
PEMBAHASAN
A. Praktik Kenegaraan Pada Masa Nabi
Muhammad SAW
Sebagai agama yang paripurna,Islam adalah
agama yang tidak hanya mengatur hubungan dengan Tuhannnya, tetapi juga aspek
hubungan antara sesama manusia. Selama karir kenabian selama 23 tahun, dan 13
tahun pertama Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Makkah
dengan penuh tantangan dan penekanan pada aspek akidah, tetapi bukan berarti
aspek sosial diabaikan. Dan ayat ayat yang diturunka pada periode ini justru
berbicara tentang ketidakadilan, penindasan dan ketimpangan sosial lainnnya.[1]
Tidak mengherankan jika pada periode ini pengikut Nabi Muhammad adalah
orang-orang yang tertindas.
Berbeda dengan di Makkah, masyarakat
Madinah dengan keberadaan Nabi Muhammad SAW dengan agama baru yang dibawanya
mendapat tempat dan simpati. Hal ini dibuktika dengan peristiwa Ba’yah
al-‘Aqabah pertama setahun sebelum beliau hijrah. Dalam peristiwa tersebut
12 orang penduduk Yastrib, pada musim haji, menyatakan ke Islamannya. Mereka
menyatakan bahwa mereka hanya akan bahwa mereka hanya akan menyembah Allah,
meningalkan perbuatan mencuri, zina, berbohong dan tidak akan menghianati Nabi.
Kemudian pada tahun berikutnya, sebanyak 73 orang Yastrib yang sudah memeluk
Islam kembali ke Makkah mempertegas pengakuan keIslamannya sebagaimana mereka
membela anak dan istri. Dalam kesempatan inilah mereka mengajak Nabi Muhammad
dan peristiwa ini disebut Bay’at al-“Aqabah kedua.[2]
Awal yang dilakukan Nabi Muhammad saat
berada di Madinah adalah adalah membuat Piagam Madinah. Dan piagam ini berisi
47 pasal yang memuat peraturan dan hubungan antara berbagai komunitas dalam
masyarakat Madinah yang majemuk. Di negara baru ini juga Nabi Muhammad SAW
bertindak sebagai kepala negara dan Piagam Madinah sebagai konstitusinya.
Madinah dapat dikatan sebagai negara juga sesungguhnya, karena telah memenuhi
syarat-syarat pokok berdirinya suatu negara, yaitu wilayah, rakyat,
pemerintahan, serta undang-undang dasar.
Terwujudnya Piagam Madinah merupakan bukti
sifat kenegarawanan Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak hanya mementingkan umat
Islam, tetapi juga mengakomodasi
kepentingan orang Yahudi dan mempersatukan kedua umat serumpun ini
dibawah kepemimpinannya. Terhadap orang-orang Yahudi, Nabi SAW membangun
persahabatan dan menghormati keberadaan mereka. Karena bagaimanapun, orang
Yahudi juga adalah penduduk Madinah yang telah tinggal disana sejak abad
pertama dan kedua Masehi. Selain itu, pada awal keberadaan Nabi Muhammad SAW di
Madinah, beliau memiliki sekertaris yang berasal dari golongan Yahudi dan Nabi
membutuhkan tenaganya karena orang Yahudi menguasai bahasa Ibrani dan Suryani.[3]
Namun setelah melihat pengaruh Nabi yang
begitu besar dan kedudukan umat Islam semakin kuat, timbullah pembangkangan
dari kaum Yahudi. Salah satu terornya adalah dengan memprovokasi antara suku
Auz dan Khazraj. Begitu pandainya kaum Yahudi dalam memprovokasi kedua kaum itu
dengan mengungkit-ngungkit masalah yang lama yaitu perang Bu’ats. Namun setelah
itu Nabi datanng, dan peristiwa inilah yang melatarbelakangi turunnya Surat Ali
Imran:103.
Secara kelompok, mereka juga melakukan
pelanggran terhadap Piagam Madinah. Peristiwa yang terjadi pada Syawal tahun
kedua Hijriah ini merupakan bukti pelanggaran Yahudi Bani Qainuqa’ terhadap
Piagam Madinah. Mereka telah mengganggu kebebasan seseorang untuk menjalankan
agamanya dan mereka juga bersalah karena telah membunuh seorang Muslim. Setelah
kejadian itu juga beberapa kaum Yahudi juga melanggarnya yaitu Bani Nadir, Bani
Quraizah dan mengakibatkan kaum Yahudi ini dikeluarkan dari kota Madinah.[4]
Setelah penghiantan yang terakhir yang dilakukan Bani Quraizah, praktis
kekuatan Yahudi hancur, meskipun ada beberapa suku Yahudi yang masih mematuhi
Piagam Madinah.
Dilihat dari sumber kekuasaan negara, Allah
menegaskan bahwa kekuasaan mutkak berada di tangan-Nya (QS. Ali Imran:19).
Namun ditinjau dari bagaimna Nabi memperoleh kekuasaan atas masyarakat Madinah,
hal itu beliau dapatkan dari perjanjiannya dengan masyarakat Madinah perjanjian
yang dikenal dengan Bayan al-‘Aqabah. Dan dalam konteks Bayan
al-‘Aqabah penduduk Madinah mematuhi apa yang diperintahkan Nabi Muhammad
SAW, dan sebaliknya Nabi Muhammad SAW selaku penerima kekuasaan akan melindungi
mereka, dan mensejahterkannya.
Dalam praktiknya Nabi Muhammad SAW menjalankan
pemerintahan yang tidak terpusat di tangan beliau. Untuk mengambil keputusan
politik Nabi melakukan konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat dan dengan
sahabat senior. Dalam menjalankan pemerintahan di Negara Madinah, kelihatannya
Nabi Muhammad tidak memisahkan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Dibawah naungan wahyu Al-Quran, Muhammad SAW menjalankan kekuasaan
legislatif.[5]
Beliau juga menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah tersebut kepada masyarakat
Madinah. Untuk permasalahan yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Quran, Nabi
sendiri yang menentukan dan mengaturnya. Nabi Muhammad menentukan sendiri hukum
terhadap permasalahn yang tidak dijelaskan di Al-Quran.
Untuk politik dalam negeri, Beliau juga
menciptakan kesatuan dan persatuan yaitu dengan berhasil meredam
konflik-konflik antar masyarakat seperti contoh setiap golongan Muhajirin harus
memiliki golongan dari Anshar. Sementara untuk melindungi ketertiban umum, Nabi
SAW membentuk lembaga hisbah, yang berfungsi mengawasi kecurangan perdagangan
di pasar. Sedangkann untuk pemerintahan di daerah, beliau mengangkat sebagai
gurbernur atau hakim.[6]
Yaitu dengan diangkatnya sahabat Muadz bin Jabl sebagai Hakim di Yaman. Dalam
hubungan internasional, kebijakan politik yang ditempuh Nabi Muhammad SAW
adalah menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara sahabat. Beliau
mengirim surat-surat dakwah kepada-kepada negara lain.
Dari bebrapa penjelasan praktik kenegaraan yang dimainkan Nabi
Muhammad dilihat dari sumber kekuasaan maka pemerintahan negara Madinah ialah
teokrasi, Dan syariat sebagai dasar kebijakan politik Muhammad. Sedangkan
ditinjau dari pelaksanaannya kekuasaan, sistem pemerintahannya adalah
demokratis. Nabi Muhammad sebagai pemegang keuasaan tidak bertanggung jawab
kepada rakyat. Sebagai
Rasul Allah beliau menyampaikan dakwah dan akhirnya mendapat kepercayaan dari
penduduk Madinah.
B. Ketatanegaraan Pada Masa Khulafaur
Rasyidin
1. Abu Bakar As-Shidiq
Setelah Nabi Muhammad wafat, persoalan yang
dihadapi adalah pengganti kepemimpinannya. Nabi SAW juga tidak pernah memberi
petunjuk tentang cara penentuan pemimpin kala itu. Dan ketidakadaan petunjuk
ini membuat permasalahan/perdebatan di kalangan umat Islam. Demikian pula
Al-Quran tidak memberi petunjuk secara tegas tentang pembentukan pemerintahan
yang harus diikuti kaum muslimin.[7]
Sehari setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
kaum Anshar memprakarsai musyawarah besar di Tsiqah Bani Sa’idah. Mereka
bingung siapa pengganti kepemimpinan setelah nabi wafat. Akhirnya mereka
berkumpul dan bermusyawarah dan dipilihlah Abu Bakar sebagai pengganti
kepemimpinan Madinah. Abu Bakar dipilih karena saat Nabi Muhammad sakit, Abu
Bakar lah yang menggantikan posisi imam sholat, dan Abu Bakar juga pada saat
musyawarah itu mengungkapkan pendapat yang merupakan imbauan untuk umat
Muslimin agar tidak terpecah belah. RIwayat lain menyebutjan bahwa ketegangan
menjadi reda setelah Abu Bakar memperkuat pandangannya dengan menyitir sebuah
Hadist Nabi yang menyatakan bahwa khalifah atau pemimpin berasal dari Quraisy.[8]
Pada dasarnya musyawarah yang dilakukan itu
berlangsung hangat, terbuka dan demokratis. Pemilihan Abu Bakar juga tidak
didasarkan pada sistem keturunan, atau keseniorannya, tetapi karena beliau
memiliki kapasitas pehaman agama yang tinggi, berakhlak mulia dan orang yang
paling dahulu masuk Islam. Dan terpilihnya Abu Bakar As-Shidiq menjadi khalifah
pertama, menjadi dasar bentuk pemerintahan sistem khilafah dalam Islam yang
terkenal dengan khilaf Khulafaur Rasyidin.
a.
Kebijakan Politik Abu Bakar
Setetalah terpilih menjadi khalifah,
Abu Bakar menyampaikan pidato kenegaraannya di Masjid Nabawi. Dari pidato
tersebut, pelantikan Abu Bakar dapat dikatakan sebagai kontrak sosial antara
pemimpin dan rakyatnya. Karenanya, Abu Bakar hanya ,menuntut kepatuhan dan
kesetiaan umat kepadanya selaa ia berada di jalan yang benar, menjain kebebasan
bependapat rakyatnya, menegakkan keadilan HAM, jihad pada saat yang dibutuhkan,
dan perintah untuk menjalankan shalat. Prinsip-prinsip tersebut merupakan
penegasan kembali terhadap garis kebijakan politik Nabi Muhammad SAW.[9]
Pada tahun pertama jabatan Abu Bakar
kepemipinannya langsung diuji, yaitu dengan menghadapi tantangan dari umat
Islam sendiri yang menentang kepemipinannya. Masalah itu sendiri seperti
murtad, kembali ke agamanya yang dulu, enggan bayar zakat, dan nabi
palsu.Disamping ancaman dari dalam ancaman dari luar juga, yaitu kaisar Romawi,
Hiraclius, yang mengusai Syiria dan Palestina dan Kisra kerajaan Persia yang
mengusai Irak. Dua kerajaan besar ini selalu berekongkol untuk menghancurkan
Islam.[10]
Di luar negeri, Abu Bakar mempunyai
utang melepas tentara Islam yag dipimpin Usamah ibn Zaid untuk menghadapi
tentara Romawi di Mut’ah. Dalam pertempuran di Tabuk, Zaid ibn Haritsah, ayah
Usamah yang menjadi panglimanya gugur. Nabi Muhammad SAW ingin memerangi
kembali orang-orang Romawi di Mut’ah itu dengan persiapan Usamah menjadi
panglima perangnya, namun rencana itu tertunda karena tidak lama kemudian
beliau wafat. Ada kalangan yang kurang sreg dipimpin Usamah saat perang yaitu
kaum Anshar tetapi pada ahirnya peperanagn itu dimenangkan kaum muslim.
Setelah berhasil dengan rencana nabi
yang tetunda itu, kemudian Abu Bakar segera menghadapi dan memangi orang orang
yang enggan bayar zakat, nabi-nabi palsu, dan orang-orang murtad. Tetapi ada
beberapa sahabat yang kurang setuju dengan memerangi orang yang enggan bayar
zakat, tetapi pada akhirnya ketegasan Abu Bakar lah, yaitu tetap memerangi
orang yang enggan bayar zakat. Dan dari memerangi orang orang murtad dan enggan
membyar zakat, banyak orang yang hafal Al-Quran yang gugur dalam pertempuran.
Kemudian Umar menyarankan untuk mengumpulkan Al-Quran yang masih tercecer.
Setelah berhasil dalam hal-hal
diatas, kemudian Abu Bakar memfokuskan untuk pembenahan negara. Sistem pemerintahan
Abu Bakar bisa dikataka modern di zamannya. Untuk pelaksanaa tugas eksekutif.
Dalam kaitan dengan itu Abu Bakar melakukan pembagian kekuasaan di kalangan
sahabat senior yang diantaranya bentuk bentuk stukturnya adalah:[11]
Struktur
pemerintahan Abu Bakar
2.
Masa Umar bin Khattab
Tidak
seperti Abu Bakar yang dipilih di dalam musyawarah para sahabat, Umar
ditunjuklangsung oleh Abu Bakar melalui wasiat. Seteah dilntik menjaadi
khalifah, Umar berpidato di hadapan umat Islam untuk menjelaskan visi politik
arah kbijakan yang akan dilaksanakannya dalam memimpin kaum Muslimin. Dalam
pidato itu menggambarkan pandangan Umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas
yang berat sebagai amanah dan ujian, antara pemimpin dan yang dipimpin harus
terjadi hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tanggung jawab.[12]
Selama
10 tahun pemerintahan Umar, kekuasaan Islam telah melebarkan sayapnya melampaui
Jazirah Arabia. Bahkan kedua adidaya ketika itu, Persia dan Bizantium behasil
jatuh ke tangan umat Islam. Banyak sekali yang berhasil diraih pada
kepemimpinan Umar yaitu yang salah satunya peluasan wilayah, yaitu dengan
berhasil menaklukkan Damskus, dan selamjutnya Syiria, dan Iraq, sehingga pada
saat kepemimpinan Umar wilayah sangat luas.
a.
Kebijakan Politik Umar bin Khattab
Luasnya daerah kekuasaan Islam
membuat Umar perlu membenahi sistem pemeritahan yang telah dijalankan Abu
Bakar. Yaitu dengan tetap memilih Madinah sebagi pusat pemerintahn Islam. Dia
juga meminta sahabat-sahabat senior untuk dimintai masukan terkait dengan
pimpinannya yang disebut dengan majelis syura atau seperti pada kepemimpinan
Abu Bakar. Umar juga memanfaatkan musim haji sebagai forum untuk mengadakn
evaluasi atas pemerintahannya, dan pada masa pemerintahannya daerah-daerah
dibagi menjadi 8 provinsi yaitu Madinah, Makkah, Syiria, Jazirah, Kufah,
Bashrah, Mesir dan Palestina.
Pada masa Umar juga lembaga-lembaga
penting mulai dibuat(semacam departemen) untuk pertama kali mulai dibentuk.Umar
membentuk kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat dan
lembaga pekerjaan umum yang menangani masalah-masalah pembangunan fasilitas umum,gedung-gedung
pemerintahan, irigasi, dan rumah sakit. Lembaga peradilan mulai terpisah dari
kekuasaan eksekutif. Umar juga membentuk departemen perpajakan (al-Kharaj)
untuk mengelola pajak-pajak daerah. Tentara juga disiapkan secara khusus, dan
mendapat gaji.[13]
Disamping itu Umar juga mendirikan
Kantor Perbendaharaan dan keuanga negara (Bayt al-Mal) yang permanen,
menempatkan mata uang, dan menetapkan tahun Hijrah sebgai penaggalan Islam.
Untuk pemerintahan di daerah, Umar mengangkat gubernur yang mempunyai otonomi
yang luas, dengan fungsi membantu khalifah. Dan juga dalam rekruitmen pejabat,
Umar sangat mementingkan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu Umar juga, mewajibkan
para pejabat yang baru untuk melaporkan kekayaannya, yang kegunaannya untuk
mengetahui harta pejabat (bagaimana dia memperoleh). Umar juga sangat tegas
terhadap para pejabatnya yang tidak bisa menjalankan pemerintahan dan sangat
lembut terhadap rakyatmya. Umar selalu mengatakan bahwa ia mengrimkan pejabat
kepada mereka bukan untuk berlaku alim atau memukul mereka, melainkan untuk
mengajarkan agama dan membagi rampasan perang buat mereka.
Sisem
pemerrintahan Khalifah Umar:[14]
Dari gambaran diatas terlihat bahwa
Umar telah membagi kekuasaan secara terpisah. Untk pertama kalinya dalam
sejarah Islam, Umar mulai memisahkan kekuasaan legislatif (majelis syura),yudikatif
(Qadha’), dan eksekutif (khalifah), meskipun tentu saja pemisahan
ini tidak bisa diperbandingkan dengan sistem pemerintahan modern trias politica
seperti sekarang ini.Kebijakan ini menunjukkan bahwa Umar memang seorng
negarawan dan administrator yang bijak. Umar tidak mencampuradukkan tiga
kekuasaan tersebut, sehingga pemerintahan dapat brjalan dengan baik dan membawa
kepada kemaslahatan umat Islam.
3.
Masa Usman bin Affan
Sebagaimana
sebelumnya, Usman juga melakukan pidato kenegaraan saat pelantikannya khalifah.
Dalam pdato itu Usman menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra
pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang corak politik belaka yang
dominan. Dan himbaun kepada umat Islam agar selalu berbuat baik dan tetap
mengingat Allah, dan serta Umat Islam boleh mengkritiknya ketika ia menyimpang
dari ketentuan hukum.[15]
a.
Kebijakan politik Usman bin Affan
Pada dasarnya garis kebijakan yang
dilaksanakan Usan adalah mengau pada khaifah Abu Bakar dan Umar. Tugaas pertama
yang dilakukan Usman adalah dengan mengirim surat kepada para gurbernur yang
berisi tentang untuk selalu berbuat amal makruf nhi munkar, selalu memegang
janji, melindungi hak-hak kaum musllimin. Untuk para pemimpin miiter ia
menyatakan bahwa meeka adalah pelindung dan pembela Islam. Usman juga melakukan
perluasan wilayah sperti Umar, dengan berhasilnya menaklukkan Ray dan Rum,tentara
Romawi di Cyprus dan mengusai daerah tersebut, Andalus. Selain daeah-daerah
tersebut, kekuasaan Islam pada masa Usman telah meliputi Azarbaijan, Afghan,
Armenia, Kurdistan dan Herat.[16]
Selain penaklukkan di atas, Usman
juga menempuh kebijaksanaan memperbanyak mushaf Al-Quran dan mengirimkannya
untuk beberapa daerah. Kebijaksanaan ini berawal dari perbedaan dialek
masing-masing daerah dan qiraah yang berbeda. Usman pun menyetujuinya stetalah
terlebih dahulu bermusyawarah dengan sahabat lainnya. Usman juga melakukan
pembagunan fisik lainnya seprti perumahan penduduk, gedung peradilan,
jalan-jalan,jembatan dan fasilitas umum lainnya.
Namun setelah keberhasilannya dalam
beberapa hal diatas, tepatnya pada enam tahun kedua, yaitu protes dan
ketidakpuasan rakyat dalam tiga hal seperti sosial politik, pendayguna kekayaan
negara, dan kebijaksanaan keimrigasian. Dalm bidang politik, banyak sejarawan
yang meilai Usman yaitu melakukan praktik nepotisme (mengangkat pejabat dari
keluarganya). Dalam pendayagunaan kekayaan negara, disinyalir pula bahwa Usman
dimanfaatkan oleh orang-orang dekatnya untuk menyalahgunakan kekayaan negara
demi kepentngan pribadi keluarga mereka. Dan dalam masalah keimrigasian, Usman
membolehkan sahabat-sahabt senior meninggalkan Hijaz, dengan pandangan bahwa
tenaga mereka dibutuhkan untuk mengajar agama di daerah tersebut.[17]
4.
Masa Ali bin Abi Thalib
Setelah
pembunuhan usman para pemberontak dari berbagai daerah mencari beberapa sahabat
senior seperti thalhah,zubeir dan sa’ad bin waqash untuk di baiat menjadi
khalifah.namun di antara mereka tidak ada yang bersedia. Akhirnya mereka
menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia, karena pengangkatannya
tidak didukung oleh kesepakatan penduduk Madinah dan veteran perang badr
(sahabat senior). Menurutnya orang yang didukung oleh komunitas inilah yang
lebih berhak menjadi khalifah. Akhirnya Malik al-Asytar al-Nakha’i melakukan
baiat dan diikuti keesokan harinya oleh sahabat besar seperti Thalhah dan
Zubeir.menurut sebuah riwayat, Thalhah dan Zubeir membaiat Ali di bawah ancaman
pedang oleh Malik al-Asytar.
a.Kebijaksanaan
Khalifah Ali
Namun demikian, Ameer Ali
menyatakan: “ ia berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi dan
mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan. Dengan
demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan
antar kelompok yang berpangkal dari
pembunuhan khalifah usman Ia membenahi dan menyusun arsip negara untuk
mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah, membentuk kantor hajib
(bendaharawan) dan kantor sahib-ushshurtah (pasukan pengawal), serta
mengorganisir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.”
Pemerintahan
Ali juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan. Setelah pemberontakan di Kabul
dan Sistan ditumpas, tentaranya mengadakan serangan laut atas Koukan (bombay).
Ia juga mendirikan pemukiman-pemukiman militer di perbatasan Syria dan
membangun benteng-benteng yang kuat di utara perbatasan Parsi.
Dalam
pengelolaan uang negara Khalifah Ali mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan
oleh Khalifah Umar, harta rakyat dikembalikan kepada rakyat. Sikap jujur dan
adil yang diterapkan Ali ini menimbulkan amarah di antara sejumlah pendukungnya
sendiri dan kemudian berpihak kepada Muawiyah.dalam pengawasan terhadap
tindakan para gubernur, Ali bertindak tegas dan tidak piih kasih serta memantau
mereka secara terus-menerus.
Dalam
sifat sikap egalitarian, Ali bahkan mencontohkan sosok seorang kepala negara
yang berkedudukan sama dengan rakyat lainnya.
C. Pemrintahan Pasca Khulafaur Rasyidin
1.Pemerintahan
Dinasti Umayah
Setelah
Ali tewas terbunuh, pengikut-pengikutnya mengangkat Hasan ibn Ali menjadi
khalifah di kufah. Sementara di Syam, kedudukan Mu’awiyah pun semakin kukuh
didukung oleh penduduknya. Hasan pun bukanlah lawan yang berarti bagi muawiyah.
Hasan yang lemah dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya dan membuat
perjanjian damai dengan muawiyah. Peristiwa ini menandakan rekonsiliasi umat
islam, setelah umat islam bertikai beberapa tahun lamanya Hasan pun melakukan
baiat terhadap muawiyah padatahun 41H/661M. Dan diikuti oleh sebagian besar
umat Islam.
Sejalan
dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif
dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik dalam dan
luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan menyempurnakannya:[18]
- Pemindahan pusat pemerintahan dari madinah ke Damaskus.
- Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai puncak kekuasaan.
- Menumpas orang-orang yang berposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak
- Membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga angkatan, darat, laut dan kepolisian yang tangguhdan loyal.
- Meneruskan perluasan wilayah kekuasaan islam baik ke Timur maupun ke Barat.
- Baik Muawiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman khulafa al-rasyidin.
- Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh Muawiyah adalah mengubah sistem pemerintahan dari bentuk khilafah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki.
Setelah
berjaya selama seratus tahun akhirnya pada 759 M. Dinasti Bani Umaiyah hancur
dan digantikan oleh Bani Abbas. Untuk melihat faktor-faktor kehancurannya,
perlu kiranya diperhatikan latar belakang internal dan eksternal dalam kerajaan
ini. Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam fakto internal, yaitu:
Pertama,
sejak semula daulat Bani Umaiyah sudah menetapkan platformnya sebagai negara
“sekuler”. Kedua, sistem suksesi berdasarkan warisan.Ketiga, politik
diskriminatif kerajaan terhadap non-Arab.Dalam faktor eksternal,
gangguan-gangguan dari gerakan oposisijuga turut memperlemah kerajaan ini. Di
antara yang paling berbahaya adalah gerakan khawarij di Oman, Syiah di Kufah
dan Abdullah ibn Zubeir yang mendapat dukungan dari penduduk hijaz, Yaman,
Irak, dan Iran. Gerakan-gerakan oposisi yang gencar ini tentu tidak dapat
dipisahkan dari latar belakang berdirinya Daulat Bani Umaiyah oleh Muawiyah.
Mereka kecewa dengan cara-cara licik muawiyah dalam mencapai puncak kariernya
sebagai Khalifah. Gerakan-gerakan oposisi tersebut senantiasa menggrogoti
daulat bani Umaiyah, sehingga melemahkan kerajaan tersebut.
Akhirnya
pada tahun 133 H/750 M revolusi bani abbas berhasil menghancurkan kekhalifahan
ini. Peta politik umat islam pun berganti dan “dikuasai kembali” oleh keluarga
Bani Hasyim.
Struktur
pemerintahan Bani Umayyah[19]
2.
Pemeritahan Dinasti Abbasiyah
Setelah
pemerintahan bani umaiyah jatuh, kekuasaan khilafah jatuh ke tangan Bani Abbas,
keturunan Bani Hasyim suku quraisy sebagaimana Bani Umaiyah juga suku Quraisy. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abu al-Abbas seorang keturunan dari paman Nabi
Muhammad SAW. Berdirinya Dinasti Abbasiyah ini merupakan hasil perjuangan
gerakan politik yang dipimpin oleh Abu al-Abbas yang dibantu oleh kaum Syiah
dan orang-orang Persi. Pada tahun 750 M
Abu al-Abbas diangkat sebagai Khalifah di Kufah (750 M-754 M).
Dalam
mempertahankan kekuasaan, sebagaimana Bani Umaiyah, dilakukan dengan cara
kekerasan dan intrik-intrik politik. Khalifah-khalifah besar Bani Abbas yang
membawa Dinasti ke puncak kejayaan di bidang ekonomi dan perdagangan, politik,
sosial, militer, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan adalah Abu ja’far al-Mansyur,
Al-Mahdi, Harun al-Rasyid, al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al-Watsiq dan Al-Mutawakkil.
Dinasti inilah yang membawa dunia islam menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan dunia, dan menjadi kekuatan raksasa di dunia belahan timur.
Struktur
organisasi Dinasti Abbasiyah terdiri dari al-khilafat, al-wizarat, al-kitabat
dan al-hijabat. Sedangkan Al Khilafat yaitu, menyatukan kekuasaan agama dengan
politik, Al-Wizarat adalah salah sau aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas
tugas kepala negara, Al-Kitabat pengaruh wazir-wazir dalam pemerintahan
membutuhkn tenaga-tenaga untuk membantu tugas-tugasnya dalam mengkoordinasi
masing-masing tugasnya. Sedngkan aspek Hijabah yaitu pengawl khalifah
D. Pemerintahan
Pasca Khalifah
a.
Kerajaan Turki Utsmani
Masa
pemerintahannya berjalan rentan waktu yang cukup panjang sejak taun
1299M-1924M. Kurang lebih 6 abad. Dalam waktu yang demikian panjang kerajaan
Turki Utsmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas
yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam
dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana
diketahui, bahwa kekuasaan Turki Utsmani tidak hanya terbatas kekuasaan wilayah
melainkan agama.
Pendiri
kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol
dri daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih kurang 3 bad, mereka
pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad
ke 9 atau ke 10 ketika menetap di Asia Tengah. Dibawah tekanan
serangan-serangan Mongol pada abad ke-13M bangsa Turki dengan dipimpin Artogal
melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk mengabdi pada penguasa yang ketika
itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.
Artogol
dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II
berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk
mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan
sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa
Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.
Pada
tahun 1289 M Artogol meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh
putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan
Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana ayahnya, Usman
banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan keberhasilannya menduduki
benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang kerajaan
Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah
dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh
atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan
berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam
perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Sejak
berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M)
berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah
selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang
membawa kemajuan dalam Islam.[20]
Sebagaimana
diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai
kekuasaan temporal atau dunia, dan kekuasaan spiritual atau rohani. Sebagai
penguasa duniawi ia memakai title Sultan, dan sebagai kepala rohani umat Islam
ia memakai gelar Khalifah
KESIMPULAN
Sebagai
agama yang paripurna,Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan
dengan Tuhannnya, tetapi juga aspek hubungan antara sesama manusia. Selama
karir kenabian selama 23 tahun, dan 13 tahun pertama Nabi Muhammad SAW
menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Makkah dengan penuh tantangan dan
penekanan pada aspek akidah, tetapi bukan berarti aspek sosial diabaikan. Dan
ayat ayat yang diturunka pada periode ini justru berbicara tentang
ketidakadilan, penindasan dan ketimpangan sosial lainnnya.
Ini
dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan pada masa Khulafaur Rasyidin. Seperti
pada masa Abu bakar. Setetalah terpilih menjadi khalifah, Abu Bakar
menyampaikan pidato kenegaraannya di Masjid Nabawi. Dari pidato tersebut,
pelantikan Abu Bakar dapat dikatakan sebagai kontrak sosial antara pemimpin dan
rakyatnya.Slanjutnya pada masa umar bin khatab. Selama 10 tahun pemerintahan
Umar, kekuasaan Islam telah melebarkan sayapnya melampaui Jazirah Arabia.
Bahkan kedua adidaya ketika itu, Persia dan Bizantium behasil jatuh ke tangan
umat Islam.Lalu pada masa usman bin afan.Pada dasarnya garis kebijakan yang
dilaksanakan Usan adalah mengau pada khaifah Abu Bakar dan Umar. Tugaas pertama
yang dilakukan Usman adalah dengan mengirim surat kepada para gurbernur yang
berisi tentang untuk selalu berbuat amal makruf nhi munkar, selalu memegang
janji, melindungi hak-hak kaum musllimin. Di lanjutkan pada pemerintahan Ali
bin abi thalib, Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling
kritis karena pertentangan antar kelompok
yang berpangkal dari pembunuhan khalifah usman.
Di
lanjutkam paska masa kulafah urosidhin adalah Pemerintahan Dinasti Umayah. Setelah
Ali tewas terbunuh, pengikut-pengikutnya mengangkat Hasan ibn Ali menjadi
khalifah di kufah. Sementara di Syam, kedudukan Mu’awiyah pun semakin kukuh
didukung oleh penduduknya. Hasan pun bukanlah lawan yang berarti bagi muawiyah
kerajaan turki usmani. Setelah pemerintahan bani umaiyah jatuh, kekuasaan
khilafah jatuh ke tangan Bani Abbas, keturunan Bani Hasyim suku quraisy
sebagaimana Bani Umaiyah juga suku Quraisy. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abu al-Abbas seorang keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW. Dan di lanjutkan
pada masa turki usmani. Masa pemerintahannya berjalan rentan waktu yang cukup
panjang sejak taun 1299M-1924M. Kurang lebih 6 abad. Dalam waktu yang demikian
panjang kerajaan Turki Utsmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan
format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat
dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang
hukum, karena sebagaimana diketahui, bahwa kekuasaan Turki Utsmani tidak hanya
terbatas kekuasaan wilayah melainkan agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Iqbal,
Muhammad. 2014. Fiqh Siyasah. Jakarta: Prenamedia Group.
Pulungan,
Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah Ajaran Sejrah dan Pemikiran. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Sjadzali,
Munawir. 2011. Islam dan Tata Negara. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
[7] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm.103.
[8] Al-Mawardi, dalam buku Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm.106.
[10] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Paemikiran,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2002), hlm.109.
[12] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran Sejrah dn Pemikiran,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm.119.
[15] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Paemikiran,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2002), hlm.142.
[18] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Paemikiran,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2002), hlm.164-166.
[20] Ria Nuris Samawati, Ketatanegaraan Pada Masa Abasyiah dan Turki
Utsmani,dalam http://nurisrnswnl.blogspot.com , Diakses pada13 September
2017 pukul 18.00.
Komentar
Posting Komentar