Langsung ke konten utama

Perkawinan dalam Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial, untuk saling membutuhkan dalam dunia ini. Dalam Islam juga memandang semua manusia adalah saudara dan mempunyai derajat yang sama. Tidak mungkin juga orang hidup tanpa ketergantungan orang lain. Manusia juga mempunyai naluri untuk saling bersama yaitu dengan berkumpulnya antara dua orang antara laki laki dan perempuan sesuai yang telah diperintahkan oleh Islam. Perkawinan juga akan membuat penerus Islam di masa mendatang sehingga orang Islam semakin banyak dan dapat menyeluruh sesuai tujuan yang ingin dicapai nabi yaitu semua umat mempunyai keyakinan yang sama.
Setiap manusia pasti mempunyai hawa nafsu, hawa nafsu itu akan memuncak jika sudah pada waktunya. Ketika nafsu itu mulai memuncak waktu itulah yang tepat untuk memasangkan antara laki laki dan perempuan agar keduanya bisa hidup bersama dengan halal. Maka dari itu setiap manusia pasti tidak akan mampu menahan nafsu seksnya secara terus menerus, sehingga sangat dianjurkan untuk melakukan perkawinan. Supaya dapat bersama sesuai dengan yang disyariatkan maka hendaknya setiap orang harus mengacu pada al-Quran dan Hadist, agar dalam hidup bersama dapat bernilai ibadah dan mendatangkan kebaikan antara keduanya dan umat manusia.
Maka dari itu perkawinan sangat penting antara kedua pihak, agar dapat saling mengasihi menyayangi danmenafkahi. Perkawinan dalam Islam juga mempunyai banyak hikmah yang beberapa telah disampaikan diatas, karena itu manusia sangat dinjurkan untuk melakukan perkawinan jika sudah tepat pada waktunya atau usia yang matang. Nabi Muhammad juga menikah dengan wanita-wanita untuk saling menyayangi, maka dari itu perilaku Nabi Muhammad kita dapat mencontohnya, karena semua hal yang berkaitan dengan syariat tujuannya adalah emncapai kemashlahatan.
Dari perkawinan yang dilakukan oleh orang orang yang berada disekitar kita banyak terjadi berbagai masalah untuk diselelsaikan. Masalah yang terkait di zaman modern ini sangat banyak, sehingga kita sebagai umat muslim dapat menyalurkan ilmu dan saling mengatkan dalam kebaikan, sehingga tujuan pernikahan akan tercapai.. Sebelum melakukan perkawinan sampai pada akhirnya perkawinan terdapat berbagai solusi yang telah dictuskan oleh syariat. Oleh karena itu, untuk mencapai perkawinan yang sesuai dengan syariat, maka sebagai akademisi dapat mengkajinya agar kelak perkawinan kita bernilai ibadah dan bukan hanya untuk sebagai penyalur seks saja.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa makna dan tujuan dari perkawinan secara Islami?
2.      Apa saja jenis-jenis, rukun dan syarat sahnya perkawinan dalam Islam ?
3.      Bagaimana mahar dalam perkawinan Islam ?
4.      Apa saja yang membuat perkawinan itu batal ?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui makna dan tujuan dalam perkawinan
2.      Untuk mengetahui jenis-jenis, rukun dan syarat dalam perkawinan
3.      Untuk mahar dalam perkawinan perkawinan
4.      Untuk mengetahui pembatal perkawinan







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Makna dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Allah berfirman dalam surat An-Nisa:3 :
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS. An-Nisa:3)
Kata perkawinan menurut istilah hukum Islam sama dengan kata “nikah” dan kata ”zawaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) yang berarti menghimpit, menindih, atau berkumpul. Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat mengenai perkawinan itu. Abu Zahrah mengemukakan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang menghalalakan hubungan kelamin antara seseorang pria dan wanita, saling membantu, yang masing masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi menurut ketentuan sayriat.[1] Sedangkan menurut Ahmad Azar Bashir nikah ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan keduanya untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhai Allah.[2]
            Sedangkan tujuan perkawinan adalah sebagai berikut:[3]
1.      Untuk menyalurkan kebutuhan seksualitas manusia dengan jalan yang dibenrkan oleh Allah dan mengendalikan hawa nafsu dengan cara yang terbaik yang berkaitan dengan peningkatan moralitas manusia sebagai hamba Allah
2.      Mengangkat harkat dan martabat perempuan. Karena dalam sejarah kemanusiaan, terutama pada zaman Jahilliyah ketika kedudukan perempuan tidak lebih dari barang dagangan yang setiap saat dapat diperjualbelikan, bahkan anak-anak perempuan dibunuh hidup-hidup karena dipandang tidak berguna secara ekonomi
3.      Mereproduksi keturunan, agar manusia tidak punah dan hilang ditelan sejarah. Agar pembicaraan makhluk manusia bukan sekedar nostalgia atau kajian antropologis sebagaimana membicarakan binatang purba dan manusia primitif yang seolah-olah tidak lebih dari dongeng masa lalu.

B.     Jenis-Jenis, Rukun, dan Syarat Sahnya Perkawinan
1.      Jenis-Jenis Pekawinan
Pernikahan mempunyai berbagai jenis dan cara. Dilihat dari sifatnya, jenis-jenis pernikahan terdiri dari berbagai macam yaitu:
a.       Nikah Mut’ah[4]
Ialah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan memakai lafadz” tamattu, istimta” atau sejenisnya atau disebut juga dengan kawin kontrak dengan jangka waktu tertentu, tanpa wali maupun saksi. Nikah jenis ini hukumnya haram
b.      Muhallil atau Kawin Cinta Buta
Ialah  seorang laki-laki mengawini perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya dengan maksud agar mantan suaminya yang pertama dapat menikah dengan dia kembali. Hukumnya haram tetapi dengan pengecualian.
c.       Kawin Gadai
atau kawin pinjam merupakan masyarakat Arab sebelum Islam, yaitu seorang suami menyuruh atau mengizinkan istrinya untuk bergauldengan orang-orang yang terpandang (bangsawan) dengan tujuan mencari bibit unggul. Perkawinan jenis ini hukumnya haram.
d.      Nikah Syigar
Ialah apabila seorang lelaki menikahkan perempuan dibawah kekuasaannya dengan lelaki lain, dengan syarat bahwa lelaki ini menikahkan anaknya tanpa membayar mahar. Hukum perkawinan ini adalah haram
e.       Poliandri
Ialah pernikahan yang dilakukan oleh seorang perempuan kepada lebih dari satu orang laki-laki. Hukumnya juga haram.
f.        Poligami
Ialah seorang suami beristri lebih dari satu. Hukumnya boleh dengan syarat dapat berlaku adil
g.      Monogami
Ialah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan, monogami adalah asas perkawinan dalam Islam.
h.      Kawin Paksa
Ialah menikahkan seorang perempuan atau laki-laki dengan cara dipaksa oleh orang tuanya dengan pasangan pilihan walinya.
i.        Kawin Gantung adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang usianya masih dibawah umur dan belum saatnya melakukan hubungan suami istri.
j.        Nikah Sirri
Ialah pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tanpa memberitahukan kepada orang tuanya yang berhak menjadi wali. Hukumnyaa boleh , apabila syarat dan rukunnya terpenuhi.
2.      Rukun Perkawinan[5]
Untuk melakukan perkawinan harus ada beberapa komponen, yakni:
a.       Mempelai laki-laki/calon suami
b.      Mempelai wanita/calon istri
c.       Wali nikah (wali perempuan)
d.      Dua orang saksi
e.       Ijab Qabul
3.      Syarat-Syarat Pernikahan
Yang dianggap sah untuk menjadi wali perempuan adalah menurut susunan dibawah ini:[6]
a.       Bapaknya
b.      Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
c.       Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
d.      Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
e.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
f.        Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak dengannya
g.      Saudara bapak yang laki-laki(paman dari pihak bapak)
h.      Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya
i.        Hakim
Sedangkan syarat calon suami dan istri:
a.       Untuk laki-laki, bukan mahram dari calon istri begitu juga sebaliknya dengan istri
b.      tidak terpaksa/atas kemauannya sendiri
c.       orangnya tertentu/jelas orangnya
d.      Tidak sedang menjalankan ihram haji
e.       Tidak sedang dalam masa iddah (istri)
Syarat-syarat wali yaitu laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil, dan tidak sedang ihram haji.
Sedangkan untuk syarat saksi ialah laki-laki, baligh, waras akalnya, dapat mendengar dan melihat, bebas atau tidak dipaksa, tidak sedang mengerjakan ihram, memahami.
Adapun syarat-syarat untuk ijab qabul adalah: diilakukan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima aqad dan saksi).[7]

C.    Mahar dalam Perkawinan Islam
Mahar dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan mas kawin, Sedangkan Mahar atau mas kawin adalah:[8]
1.      Pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsngnya akad sebagai pemberian wajib
2.      Sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon istri dalam rangka akad perkawinan antara keduanya, sebagai lambang kecintaan calon suami terhadap calon istri serta kesediaan calon istri untuk menjadi istrinya.
Dasar hukum adanya mahar dalam perkawinan terdapat dalam Al-Quran surat An-Nisa:4 yang berbunyi:
وَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ نَفۡسٗا فَكُلُوهُ هَنِيٓ‍ٔٗا مَّرِيٓ‍ٔٗا ٤
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya (QS. An-Nisa:4)
            Untuk besar kecilnya mahar tidak ditetapkan dalam Syariat Islam. Besar kecilnya tergantung pihak mempelai wanita yang berhak menetukan besar kecilnya. tetapi yang paling berkah adalah permintaan mahar yang murah dan sederhana. Besar dan kecilnya jumlah mahar, jenis dan bentuknya hendaknya berpedoman pada sifat kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang dianjurkan oleh syariat Islam.
            Imam Syafi’i, Ahmad bi Hanbal, Ishaq, Abu Tsaur, dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak mengenal batas tinggi rendah, besar kecil. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa yang paling sedikit adalah mahar itu harus mencapai seperempat dinar emas atau perak seberat tiga dirham timbangan atau barang yang sebanding dengan tiga dirham tersebut. Untuk Abu Hanifah berpendapat bahwa mahar paling sedikit sepuluh dirham.
Para ulama’ Hadis berpendapat bahwa sabda Nabi SAW: “Berikanlah maharnya walaupun sebentuk cincin dari besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendah.
Sedangkan untuk macam barang yang dijadikan mahar, wujud dari sesuatu yang dapat dijadikan mahar berupa:
1.      Barang berharga baik berupa barang bergerak atau tetap
2.      Pekerjaan yang dilakukan oleh calon suami untuk calon istri
3.      Manfaat yang dapat dinilai dengan uang
Nabi Muhammad pernah berkata kepada seorang laki-laki yang tidak mempunyai mahar, katanya “Adakah engkau menghafal sesuatu dari Qur’an? Jawab laki-laki “Ada surat itu surat itu”, berapa surat yang disebutkan namanya. Kemudian Nabi berkata “ Aku kawinkan engkau kepada perempuan ini dengan mas kawin berapa ayat dari Al-Quran yang engkau hafal (HR. Bukhori Muslim).
            Jenis-jenis mahar, para ahli hukum Islam membagi mahar dalam dua jenis yakni:
1.      Mahar Musamma ialah mahar yang ditetapkan sebelum akad nikah dan disebutkan ketika akan perkaawinan. Dalam kaitannya dengan pemberian mahar, wajib hukumnya membayar mahar musamma bila telah terjadi dukhul. Apabila salah seorang dari suami atau istri meninggal dunia sebagaimana disepakati oleh para ulama, suami wajb memabayar mahar melalui ahli warisnya karena mahar disitu sebagai utang.
2.      Mahar Mitsil ialah sesuatu mahar yang patut atau layak atau yang berpadan dengan kedudukan si istri, jadi jumlahnya tidak ditetapkan. Kaitannya dengan penundaan mahar, Imam Malik menegaskan bahwa boleh menunda pembayaran mahar, tetapi apabila suami hendak menggauli istrinya, hendaknya ia membayar separonya. Cara penundaan pembayaran mahar harus waktunya dan tidak telalu lama , oleh karena itu batas waktunya harus disepakati kedua belah pihak.

D.    Hikmah Perkawinan
Adapun hikmah pernikahan dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.      Menyambung silaturahmi
2.      Pada awalnya Allah menciptakan adam dan kemudian menciptakan siti hawa sebagai pasangannya. Setelah itu, manusia berkembang biak menjadi berbagai kelompok bangsa yang tersebar ke alam semesta. Dan akhirnya mereka tidak mengenal antara satu dengan yang lainnya. Datangnya Islam dengan institusi pernikahan memberi peluang menyambung kembali tali kasih yang lama putus.
3.      Mengendalikan nafsu syahwat yang liar
4.      Seorang yang belum memiliki keluarga tidak mempunyai ketetapan hati dan pikirannya pun masih labil. Dan tidak mempunyai pegangan dan tempat untuk menyalurkan ketetapan hati dan melepaskan kerinduan serta gejolak nafsu syahwatnya.[9] Oleh karena itu pentingnya pernikahan, agar bisa mengendalikan nafsu.
5.      Mengindari diri dari perzinaan
6.      Pandangan yang liar adalah awal dari keinginan untuk berbuat zina. Seperti yang telah diutarakan, godaan untuk melakukan kemaksiatan didunia ini sangat banyak dan beragam, suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan yang beradab. Oleh karena itu pernikahan merupakan terapi bagi mereka yang masih membujang.
7.      Estafeta amal manusia
8.      Estetika kehidupan






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Perkawinan adalah suatu akad yang menghalalakan hubungan kelamin antara seseorang pria dan wanita, saling membantu, yang masing masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi menurut ketentuan sayriat.
Sedangkan tujuan perkawinan adalah sebagai berikut:
1.      Untuk menyalurkan kebutuhan seksualitas manusia dengan jalan yang dibenrkan oleh Allah dan mengendalikan hawa nafsu dengan cara yang terbaik yang berkaitan dengan peningkatan moralitas manusia sebagai hamba Allah
2.      Mengangkat harkat dan martabat perempuan. Karena dalam sejarah kemanusiaan, terutama pada zaman Jahilliyah ketika kedudukan perempuan tidak lebih dari barang dagangan yang setiap saat dapat diperjualbelikan, bahkan anak-anak perempuan dibunuh hidup-hidup karena dipandang tidak berguna secara ekonomi
3.      Mereproduksi keturunan, agar manusia tidak punah dan hilang ditelan sejarah. Agar pembicaraan makhluk manusia bukan sekedar nostalgia atau kajian antropologis sebagaimana membicarakan binatang purba dan manusia primitif yang seolah-olah tidak lebih dari dongeng masa lalu.
Adapun Rukun Perkawinan dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.      Mempelai laki-laki/calon suami
2.      Mempelai wanita/calon istri
3.      Wali nikah (wali perempuan)
4.      Dua orang saksi
5.      Ijab Qabul

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1999. Fiqh Munaqahat. Bandung: Pustaka Setia.
Aziz, Abdul. 2014. Buku Daras Fiqh Munaqahat. Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta.
Saebani, Beni Ahmad. 2013. Fiqh Munaqahat. Bandung: Pustaka Setia.
Shomad Abdullah.2010. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Wahid, Abdul. 1989. Rahasia Perkawinan Islami. Bandung: Hasanah Press.


[1] Abu Zahrah dalam ( Bani Ahmad Saebani, Fiqh Munaqahat, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm.13).
[2] Ahmad Azar Bashir dalam (Abdullah Shomad, Hukum Islam:Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010), hlm. 273-274.
[3] Bani Ahmad Saebani, Fiqh Munaqahat, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm.23.
[4] Abdullah Shomad, Hukum Islam:Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm.311.
[5] Ibid., hlm.277.
[6] Bani Ahmad Saebani, Fiqh Munaqahat, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm.109.
[7] Abdullah Shomad, Hukum Islam:Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm.278.
[8] Ibid., hlm.299.
[9] Abdul Aziz, Buku Daras Fiqh Munaqahat, Fakultas Syariah IAIN Surakarta, Surakarta, 2014, hlm.14.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah-Kaidah Fiqih Umum (Kaidah 10,11 Dan 12)

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Masalah Masalah dalam masyarakat kini telah semakin banyak perkembangan , sehingga masalah-masalah pun semakin sulit dipecahkan dan didapatkan penyelesain. Al-Quran dan Hadist sebagai sumber utama ajaran Islam tidak semua memberikan penjelasan yang jelas, tetapi justru masih banyak yang bersifat global jika ditinjau dari masalah-masalah modern masa kini. Hal tersebut mengakibatkan kebanyakan masyarakat memutuskan secara tidak tepat atau tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kaidah fiqh banyak sekali yang sudah dirumuskan ulama’ yang digali dari beberapa sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Hadis. Sehingga kaidah itu bisa dijadikan pijakan untuk bermasyarakat atau bermuamalah. Karena pada dasarnya kaidah ini digunakan untuk pedoman sehingga lebih mudah dipahami, tetapi dalam berpedoman dengan kaidah-kaidah fiqh ada pengecualiannya, untuk itu diperlukan ketelitian dalam mengkaji mengenai kaidah-kaidah fiqh ini. Dalam makalah ini penuli

Hubungan Peradilan Agama Dengan Proses Penetapan Hukum Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya satu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.   Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan yang lainnya sebagai peradilan negara. Dalam menyelesaikan masalah-masalah perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. B.      Rumusa Masalah 1.       Apakah peranan Peradilan Agama dalam penegakkan hukum di Indonesia? 2.       Bagaimana perundangan-undangan dalam Peradilan Agama?

Tafsir Ayat-Ayat Ukhuwwah (Persaudaraan)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Al-Quran merupakan himpunan wahyu Allah, Dzat Maha Pencipta Alam Semesta, yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Di dalamnya terkandung pesan-pesan ilahi kepada manusia, oleh karena ia berkedudukan   amat penting bagi kita semua. Agar dapat menyerap inti sari pesan yang dikandungnya, maka setiap orang haruslah   memahami Al-Quran secara mendalam yang disertai dengan   perenungan makna isi kandungannya.